Salah seorang dokter bercerita tentang kisah sangat menyentuh yang pernah dialaminya. Hingga aku tidak dapat menahan diri saat mendengarnya. Aku pun menangis karena tersentuh kisah tersebut…
*********
Dokter itu memulai ceritanya dengan mengatakan :
Suatu hari, masuklah seorang wanita lanjut usia ke ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit. Wanita itu ditemani seorang pemuda yang usianya sekitar 30 tahun. Saya perhatikan pemuda itu memberikan perhatian yang lebih kepada wanita tersebut dengan memegang tangannya, memperbaiki pakaiannya dan memberikan makan, serta minuman padanya…
Setelah saya menanyainya seputar masalah kesehatan dan memintanya untuk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu tentang kondisi akalnya, karena saya dapati, bahwa perilaku dan jawaban wanita tersebut tidak sesuai dengan pertanyaan yang kuajukan.
Pemuda itu menjawab, “Dia Ibuku dan memiliki keterbelakangan mental sejak aku lahir.”
Keingintahuanku mendorongku untuk bertanya lagi, “Siapa yang merawatnya?”
Ia menjawab, “Aku..”
Aku bertanya lagi, “Lalu, siapa yang memandikan dan mencuci pakaiannya?”
Ia menjawab, “Aku suruh ia masuk ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya, serta menantinya, hingga ia selesai. Aku yang melipat dan menyusun bajunya di lemari. Aku masukkan pakaiannya yang kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yang dibutuhkannya.”
Aku bertanya, “Mengapa engkau tidak mencarikan untuknya pembantu?”
Ia menjawab, “Karena Ibuku tidak bisa melakukan apa-apa dan seperti anak kecil, aku khawatir pembantu tidak memperhatikannya dengan baik dan tidak dapat memahaminya, sementara aku sangat paham dengan ibuku.”
Aku terperangah dengan jawabannya dan baktinya yang begitu besar..
Aku pun bertanya, “Apakah engkau sudah beristri?”
Ia menjawab, “Alhamdulillah, aku sudah beristri dan punya beberapa anak.”
Aku berkomentar, “Kalau begitu, berarti istrimu juga ikut merawat ibumu?”
Ia menjawab, “Istriku membantu semampunya, dia yang memasak dan menyuguhkannya kepada Ibuku. Aku telah mendatangkan pembantu untuk istriku, agar dapat membantu pekerjaannya. Akan tetapi, aku berusaha selalu untuk makan bersama Ibuku, supaya dapat mengontrol kadar gulanya.”
Aku Tanya, “Memangnya Ibumu juga terkena penyakit Gula?”
Ia menjawab, “Ya, (tapi tetap saja) Alhamdulillah atas segalanya.”
Aku semakin takjub dengan pemuda ini dan aku berusaha menahan air mataku. Aku mencuri pandang pada kuku tangan wanita itu dan aku dapati kukunya pendek dan bersih…
Aku bertanya lagi, “Siapa yang memotong kuku-kukunya?”
Ia menjawab, “Aku. Dokter, ibuku tidak dapat melakukan apa-apa.”
Tiba-tiba Sang Ibu memandang putranya dan bertanya seperti anak kecil, “Kapan engkau akan membelikan untukku kentang?”
Ia menjawab, “Tenanglah Ibu, sekarang kita akan pergi ke kedai.”
Ibunya meloncat-loncat karena kegirangan dan berkata, “Sekarang… Sekarang!”
Pemuda itu menoleh kepadaku dan berkata, “Demi Allah, kebahagiaanku melihat Ibuku gembira lebih besar dari kebahagiaanku melihat anak-anakku gembira…”
Aku sangat tersentuh dengan kata-katanya dan akupun pura-pura melihat ke lembaran data ibunya.
Lalu aku bertanya lagi, “Apakah Anda punya saudara?”
Ia menjawab, “Aku putranya semata wayang, karena ayahku menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka.”
Aku bertanya, “Jadi Anda dirawat ayah?”
Ia menjawab, “Tidak, tapi nenek yang merawatku dan ibuku. Nenek telah meninggal –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya– saat aku berusia 10 tahun.”
Aku bertanya, “Apakah Ibumu merawatmu saat Anda sakit, atau ingatkah Anda, bahwa Ibu pernah memperhatikan Anda? Atau, dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan Anda?”
Ia menjawab, “Dokter… Sejak aku lahir Ibu tidak mengerti apa-apa… Kasihan dia… Dan aku sudah merawatnya sejak usiaku 10 tahun.”
Aku pun menuliskan resep, serta menjelaskannya…
Ia memegang tangan ibunya dan berkata, “Mari kita ke kedai..”
Ibunya menjawab, “Tidak, aku sekarang mau ke Makkah saja!”
Aku heran mendengar ucapan ibu tersebut…
Maka aku bertanya padanya, “Mengapa Ibu ingin pergi ke Makkah?”
Ibu itu menjawab dengan girang , “Agar aku bisa naik pesawat!”
Aku pun bertanya pada putranya, “Apakah Anda akan benar-benar membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab, “Tentu… Aku akan mengusahakan berangkat kesana akhir pekan ini.”
Aku katakan pada pemuda itu, “Tidak ada kewajiban umrah bagi Ibu Anda… Lalu, mengapa Anda membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab, “Mungkin saja kebahagiaan yang ia rasakan saat aku membawanya ke Makkah akan membuat pahalaku lebih besar daripada aku pergi umrah tanpa membawanya.”
Lalu, pemuda dan Ibunya itu meninggalkan tempat praktekku. Akupun segera meminta pada perawat agar keluar dari ruanganku dengan alasan aku ingin istirahat. Padahal, sebenarnya aku tidak tahan lagi menahan tangis haru…
Aku pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh yang ada dalam hatiku…
Aku berkata dalam diriku :
“Begitu berbaktinya pemuda itu, padahal Ibunya tidak pernah menjadi Ibu sepenuhnya…”
Ia hanya mengandung dan melahirkan pemuda itu,
Ibunya tidak pernah merawatnya,
Tidak pernah mendekap dan membelainya penuh kasih sayang,
Tidak pernah menyuapinya ketika masih kecil,
Tidak pernah begadang malam,
Tidak pernah mengajarinya,
Tidak pernah sedih karenanya,
Tidak pernah menangis untuknya,
Tidak pernah tertawa melihat kelucuannya,
Tidak pernah terganggu tidurnya disebabkan khawatir pada putranya,
Tidak pernah…. Dan tidak pernah…!
Walaupun demikian, pemuda itu berbakti sepenuhnya pada Sang Ibu..”
.
Apakah kita akan berbakti pada ibu-ibu kita yang kondisinya sehat….
Seperti bakti pemuda itu pada Ibunya yang memiliki keterbelakangan mental?
*********
Bersyukurlah bila Anda masih memiliki kedua orang tua, terutama Ibu. Mereka adalah jembatan kita menuju ridha-Nya. Jagalah mereka, kerena
“Orang tua adalah pintu Surga yang paling tengah. Sekiranya engkau mau, maka jamgan sia-siakan pintu itu !” [HR. Ahmad]
Qadhi Iyadh menjelaskan, “Maksud pintu Surga yang paling tengah adalah pintu yang paling baik dan paling tinggi. Dengan kata lain, mentaati dan menjaga orang tua adalah sebaik-baik sarana yang bisa mengantarkan seseorang ke dalam Surga dan meraih derajat yang paling tinggi di dalamnya.”
Alangkah meruginya orang yang mendapati kedua orangtuanya telah lanjut usia, tapi ia tidak masuk Surga, padahal kesempatan itu terbuka lebar dihapannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka..!!”
Lalu, dikatakan, “Siapakah itu, wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Yaitu orang yang mendapati kedua orang tuanya, atau salah satu dari keduanya lanjut usia, namun ia tidak masuk Surga.” [HR Muslim]
Saudaraku, jagalah baik-baik pintu Surgamu itu… Selagai masih ada waktu…
Sumber kisah:
Oleh : Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairy pada Majalah Qiblati Edisi 03 Thn. IX dalam Rubrik Kisah | Copas dari status Status Nasehat
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)