Kamis, 11 Juni 2015

Anugerah Terindah Dalam Diriku



Pertemuan tak disengaja dengannya hari ini, membuatku teringat akan sebuah pertanyaan kecil namun membutuhkan jawaban yang tak mudah, pertanyaan yang suatu hari pernah ditanyakan sahabatku kepadaku.

“Bagaimana seandainya jodohmu nanti sama sekali bukanlah orang yang selalu Kau sebut namanya dalam istikharah dan pengharapan di setiap doamu saat ini? Akankah Kamu bisa mencintainya?”

Aku terdiam saja saat itu, tapi aku meyakinkan diri bahwa apapun yang Allah berikan, yang Allah takdirkan adalah hal terindah untuk kehidupan dunia dan akhiratku. Ya, meskipun saat itu aku benar-benar tengah jatuh hati pada sosok ikhwan yang bahkan aku tak berani bertegur sapa dengannya, Abdullah namanya. Saat di hadapannya, aku selalu malu-malu terkadang gugup tak dapat berkata-kata. Tetapi di hadapan Allah, aku terang-terangan meminta untuk dijodohkan dengannya. Aku tak ingin berpacaran dengannya, tapi aku ingin dia menjadi kekasih halalku. Aku yakin, Allah tidak pernah menyia-nyiakan doa hamba-Nya.
Beberapa tahun berlalu, cinta dalam diam yang ku rahasiakan darinya selama bertahun-tahun itu harus dengan tega aku kuburkan dalam-dalam. Dia pergi jauh untuk mengejar studinya menuju gelar professor. Dia memang lelaki yang cerdas dengan sikapnya yang santun, shalih, dan bersahaja, usianya baru 26 tahun namun prestasi akademiknya luar biasa, cita-citanya yang ingin memperdalam ilmunya membuatnya menunda untuk segera mencari pendamping hidup. Padahal aku yakin, jika saja dia mengadakan audisi mencari tambatan hati, maka ribuan wanita pasti akan rela mengantri. Termasuk aku, mungkin. Namun, takdir berkata lain. Orangtuaku menginginkan agar aku segera menikah. Tak mungkin jika aku tetap menanti dia yang bahkan tak tahu jika selama ini kusebut namanya dalam tiap doaku, dia yang sudah pergi jauh meninggalkanku tanpa pernah merasakan cinta terpendam yang kuharap bisa kusemaikan berdua dengannya kelak. Padahal sosok sepertinyalah yang sangat aku harapkan.
Akhirnya aku menikah dengan sahabat kakakku, Khalid namanya. Pernikahan kami baru tiga bulan. Di bulan pertama, kadangkala aku masih teringat pada sosok “dia” yang dulu pernah aku cinta. Lalu membandingkannya dengan suamiku yang sangat berbeda darinya. Namun segera aku beristighfar, aku sudah bersuami tak sepantasnya jika aku masih teringat dengan sosok di masa laluku, meski besarnya cintaku pada Mas Khalid mungkin belum sebesar cintanya untukku.
Suatu hari, Mas Khalid pulang dari kantor dengan wajah yang amat lelah. Tak sampai hati aku memintanya mengantarku mengajar di TPQ yang agak jauh dari rumah. Lagipula, aku bisa naik motor sendiri.

“Yuk, Dik.” Ajaknya tiba-tiba.
“Kemana, Mas?”
“Mau berangkat ke TPQ kan? Sini, mas antar.”
“Ndak usah, mas kan capek baru pulang. Aku bisa berangkat sendiri.” Elakku.
“Capek? Hem, sudah hilang tuh. Kan udah lihat wajah cantikmu.” Rayunya sambil tersenyum dan menggandeng tanganku. Aku hanya senyum-senyum sendiri mendengarnya.

Sore ini, diiringi rerintikan hujan yang syahdu, Mas Khalid mengajakku berbincang tentang masa lalu kami.

“Dik, ngomong-ngomong apa Adik pernah punya seseorang yang membuat Adik merasa benar-benar jatuh cinta?” Tanya Mas Khalid padaku.
“Tentu saja, Mas. Tapi itu kan sudah masa lalu. Tak perlu diingat-ingat lagi. Nanti malah…”
“Oh, punya ya? Malah kenapa Dik? Hehehe.. Enggak apa-apa Kok. Manusia jatuh cinta dengan lawan jenis itu kan wajar.”
“Kalau Mas sendiri, bagaimana?”
“Kalau mas, hmm.. Bahkan saat ini mas masih menyimpan fotonya.” Kata-kata Mas Khalid membuatku kaget.

Meski cintaku padanya belum mendalam tapi, dia sudah beristrikan aku! Apa-apaan dia masih menyimpan foto gadis yang pernah menjadi pujaan hatinya itu. Raut wajahku pun berubah masam.

“Dik jangan marah ya. Semoga bisa mengerti dengan hal ini. Mas mau jujur, mas ini orangnya sulit jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta sama seseorang pasti susah untuk melupakan. Sebenarnya mas juga punya seseorang yang sejak bertemu dengannya hingga saat ini, mas masih dibuat jatuh hati olehnya.” Ia terhenti sejenak, menghela nafas panjang. ”Wajahnya itu mirip sekali denganmu. Mungkin itu yang menjadi salah satu alasanku mau menikahimu. Sebentar ya, mas ambilkan fotonya.” Katanya sambil masuk ke dalam kamar.
“Eh?!” Jantungku benar-benar dibuat berdegup kencang. Tega sekali ia berkata dan berbuat seperti itu langsung di depanku. Apa maksudnya? Pernikahan kami baru memasuki tiga bulan. Apakah akan segera berakhir karena cinta yang belum usai kepada orang lain? Atau kami tidak akan pernah saling mencintai karena selalu terbayang-bayang dengan masa lalu kami. Ya Allah! Inikah balasan karena aku tak mencintainya sepenuh hati? Ternyata ia pun memiliki seseorang yang masih dicintainya hingga saat ini.
Tak berapa lama ia keluar dan kembali duduk di sampingku. Aku memalingkan mukaku darinya. Wajahku memerah, panas. Air mataku sudah ingin tumpah. Ia hanya menatapku sesaat lalu mengeluarkan sesuatu dari kantung kemejanya.

“Dik, kenapa itu mukanya? Sini mas lihat.”

Aku pun menoleh ke arahnya dan sudah bersiap-siap akan menumpahkan kekesalanku atas perbuatannya itu.

“Mas! Mas kok tega banget si..” tiba-tiba omelanku berhenti di tengah hancurnya suasana hati.

Aku terdiam. Air mata yang aku tahan tiba-tiba tumpah perlahan.

“Lihat, dia mirip sekali denganmu kan?” Tanya Mas Khalid sambil Ia mengusap pipiku dengan lembut lalu tertawa lirih.

Ternyata foto yang ia tunjukkan adalah fotoku yang selalu ia simpan di dalam dompetnya. Aku mencubit gemas pipi tembemnya. Dia tertawa puas melihatku kesal seperti itu.

“Ohh, ciniii... cini… kaciyaaan. Jangan nangis ya sayang.” Ia memelukku dengan eratnya.
Dalam hangat peluknya itu ia berbisik lembut.
“Sejak bertemu denganmu aku seakan tak pernah punya masa lalu dan kenangan tentang cinta, karena Kau telah membawakan cinta dan masa depan yang lebih indah dalam kehidupanku.”

Dalam dekapan damainya itu, aku menangis haru. Aku menyadari, ternyata Allah memang tak pernah menyia-nyiakan doa hamba-Nya, saat aku meminta jodoh yang terindah, kepadaku telah dikirimkan-Nya sosok yang membuatku merasa aman, bahagia, dan mencintaiku apa adanya. Dan aku telah yakin dengan siapa aku akan menyemaikan benih-benih cinta ini dalam ketaatan pada-Nya, dengan izin-Nya, selama-lamanya.
This entry was posted in

0 komentar:

Posting Komentar

Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)