Ya
Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah? atau mungkin seorang alim
yang menjelma seperti Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung
berdetak kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih
nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang, sosok
‘malaikat’ itu masih melekat dalam benakku.
Sore
tadi, Mama mengajakku ke rumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit.
Awalnya aku menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi
kembali. Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk
dipelajari dan untuk selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel yang
siap untuk dibaca.
Aku
seorang penulis novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti
Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu, Asma Nadia, Helvy Tiana Rossa, dan
masih banyak nama-nama penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus
menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah beredar di pasaran. Yang
pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga.
Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku
sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi
lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang
sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk
merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang
apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan,”Dinda, nanti kalau sampai penyakit
mama kumat di jalan, bagaimana?”. Hfh…tak tega rasanya kalau sampai penyakit
asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
Aku
berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak
pernah tahu teman mama yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu.
Teman mama semasa kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak
tentang sahabatnya itu yang katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami
yang juga tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama sangat cocok
untuk dijadikan seorang menantu.
”Bu Rahayu itu
punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu
cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”
Huuffhh…aku
hanya menghela nafas mendengar celotehan mama yang menurutku hanya sebuah
pengharapan seorang ibu yang menginginkan anak perempuannya segera menikah.
Menikah.
Semua gadis yang sudah cukup umur juga pasti berharap ingin segera mempunyai
pendamping hidup yang sesuai dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang
baik, sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri apa adanya.
Tapi kalau memang belum jodoh mau diapakan lagi? Aku hanya berharap seorang yang
sholeh yang bersedia menjadi suamiku.
Tepat
di sebuah rumah bernuansa minimalis kami turun dari mobil yang aku kendarai
sendiri. Diluar sudah ada seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu
rumah untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk karena dia sudah tahu bahwa
kami akan datang untuk menjenguk Ibu Rahayu. Sekantong buah-buahan aku serahkan
padanya. Diapun segera mengantar kami memasuki kamar Bu Rahayu.
Di
dalam aku melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya
berbaring diatas tempat tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya
ia tutup dengan sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera
menyambut kami ketika ia lihat wajah kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu
Rahayu segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa
tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa
menatap mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang
terasing didalam kamar itu.
Tiba-tiba
Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku
tersadar dari lamunanku.
”Ini pasti Dinda
ya?” Tanya Bu Rahayu.
”I..iya bu..”
Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku kembali tersenyum
padanya.
”Sudah besar ya?
Berapa usia kamu sekarang?” Tanya Bu Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu
untuk menjawabnya.
”Ehm...27 tahun
bu” Sahutku tanpa semangat yang membara. Entah mengapa setiap kali ada
seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa mempunyai
semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga menikah.
”Tahu darimana
Lis kalau aku sakit?” Tanya Bu Rahayu pada Mama. Aku menarik kursi yang
disediakan oleh ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.
”Dari Rudi.
Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar. Dan dia bilang katanya kamu sakit.
Memang kamu sakit apa sih Yu?” Mama balik bertanya.
”Tahulah Lis. Aku
juga bingung sendiri dengan sakitku” Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca.
Sesaat kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya. Diapun mulai
bercerita.
”Beberapa hari
yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk dijadikan istri
oleh anakku....”
”Oh iya, mana
anakmu itu? Kok tidak kelihatan? Siapa namanya?” Cerocos Mama memotong
pembicaraan Bu Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan nada
datar. Aku memperhatikannya dengan seksama.
”Anakku itu
bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa sih Lis?”
”Oh iya!
Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan Yu!” Kata Mama seraya menyuruh Bu
Rahayu untuk melanjutkan ceritanya.
”Aku sempat
melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun bagus. Dia
berjilbab, sama seperti Dinda” Lanjut Bu Rahayu sambil melirik kearahku ketika
dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan mendengar cerita Bu
Rahayu.
”Setelah aku
tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang cocok dengan
seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia
menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak beda jauh
dengan usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau
bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah
itulah penyebab sakitku saat ini” Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali
kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
”Sekarang dia
kemana bu?” Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal
itu? Aku sendiri tidak tahu alasannya.
”Sekarang dia sedang
menebus obat ibu di apotik. Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga
pulang” Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti semula. Mama dan
Bu Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya, sedangkan aku hanya
dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang baru bagiku.
Beberapa
saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seorang
laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan
Bu Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu.
Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan...Subhanallah! Seorang laki-laki tampan
dengan kemeja dan celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku
berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat
lamanya aku menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian
mengatupkan kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan
zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan salam padaku dan mengatupkan
kedua tangannya juga padaku.
”Assalamu’alaikum”
Ucapnya lembut sambil menunduk.
”Wa..wa’alaikummussalam”
Sahutku dengan sedikit tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari
wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah mengapa saat ini jantungku
berdebar-debar.
Kudengar
Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul
Fattah dan dia juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan juga
memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri pandang padanya.
Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali kutarik nafasku dalam-dalam.
Tak
berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar
dari kamar. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat
mendengar suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya
dengan pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan
mereka dengan masalah Yusuf.
Aku
berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda
dalam hatiku setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.
”Bu Rahayu itu
punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu
cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”.
Apa
mungkin bisa ya? Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana.
Sepanjang
perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku
sudah tak memikirkan editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku
sekarang adalah, apakah sosok ”malaikat” itu yang menjadi harapan Mama?
Oh....Rabbi, selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati.
Adzan
Maghrib sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil
air wudhu.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)