Hari
berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok ”malaikat” itu. Dan aku
berusaha untuk tidak memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah undangan
dari sahabatku, Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah. Aku
tertawa sendiri melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan
pernikahannya yang berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama seorang
ikhwan1 yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang jelas-jelas aku ingat dulu Arini
sempat tidak suka pada ikhwan yang mempunyai potongan rambut belah tengah itu
dan berkaca mata.
Menurut
Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang
ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja
dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini
ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti
perempuan, semakin menguatkan argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku
hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi
karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.
Aku
tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email
padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka
padanya dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak
antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi
kami tak pernah bertemu lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah
membaca ulang emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.
Wa’alaikumussalam. Wr. WbFauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih baik kamu hubungi saja murabbi3nya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.
Segera kukirim
email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa aku sudah
memberikan balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit beberapa
tulisan yang sudah masuk kedalam redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja adalah
perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta.
Tak berapa lama
ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran4.
Aku
tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma,
murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat,
dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan
permintaan Fauzi.
Setelah aku
megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
Almtnya sdh aku
krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan.
Aku kembali larut
dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama
kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari
Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang
banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan
kepercetakan.
* * *
Aku
tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas
meja riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu.
Aku sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini
menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan
Arini dulu.
”Rin,
membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita
membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah
kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari
kamu jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya
sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya.
Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi
bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada
haditsnya lho Rin”
Sikap
Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku
katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah
dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah...jodoh
memang sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata dikemudian hari
malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus
ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah.
Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang
tidak pernah aku duga sebelumnya.
Diluar,
Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia
berdecak kagum ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.
”Wah...wah!! Mau
kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?” Tanya
Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.
”Tuh, lihat saja
Ma!” Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning keemasan diatas
meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama mengambil
undangan itu dan membacanya.
”Undangan
pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah” Ucap Mama mengeja
huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.
”Oh...ini Arini
yang pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah
lamaran....siapa itu?”
”Fauzi Ma!”
Sahutku.
”Iya Fauzi. Lha
kok jadi nikah begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?” Tanya Mama
penasaran.
”Ma, jodoh itu
rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya kita akan menikah. Kalau
Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah sudah
menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?” Jawabku meyakinkan Mama.
Mama
hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia
menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
”Oh iya Din,
nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini”
”Keluarganya Bu
Rahayu?” Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
”Iya. Bu Rahayu
yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?”
Aku
mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok
manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada
Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta
keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
”Untuk apa mereka
kemari Ma?”
”Ya sekedar
silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau kami
bicarakan” Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku.
Membicarakan apa?
”Siapa saja yang
nanti datang bersama Bu Rahayu?” Tanyaku makin penasaran.
”Nggak banyak. Ya
Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin” Jawab Mama tenang, tapi tidak
bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan ”anaknya
yang kemarin”.
”Nanti jangan
pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya” Ucap Mama
sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan Mama. Dia
ikut? Sosok ”malaikat” itu nanti malam akan datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini?
Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku
segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta
walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk
mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.
* * *
Sepulang
dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh Shanti, teman satu
halaqah5ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran buku Islami
atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada salahnya
menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel
terbaruku.
Selepas
Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan
akhwat6 yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena
sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari
ini ada temu penulis novel bestseller ”Ayat Ayat Cinta”, Habiburrahman El
Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang
untuk melihat Kang Abik secara langsung.
7 Saudaraku
(untuk laki-laki)
Aku
yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis ”Ayat Ayat
Cinta”. Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis
inspirasiku dalam menulis novel.
Beberapa
buah buku referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli
adalah novel dan beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain
lagi dengan Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang
perjalanan hidup Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah
seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur’aniyah di
daerah Poltangan, Jakarta Selatan.
Di
saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis
”Ayat Ayat Cinta” digelar, aku melihat sosok ”malaikat” yang pernah kulihat
dirumah Bu Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil
membuka lembar demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang
ikhwan yang tengah mengajaknya berbicara.
Entah
ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand
Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. ’Aidh bin
Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut
dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri
persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau
mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa
padaku.
Shanti
masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura
melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan
dia berbicara dengan temannya.
”Suf, ente bener
hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi? Ente nanti nyesel lho!” Ucap
temannya Yusuf dengan semangat.
”Bener akhi, ana
nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah teman
mereka” Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
”Ente jadi ikut
sama orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar undangan?” Tanya
temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya. Undangan?!
”Ah, antum jangan
begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang tua” Sahut Yusuf.
”Lagi sih ente.
Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima
deh nasib dijo...”
”Sstt!!”
Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
”Udah yuk ah, ana
mau langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit lagi” Lanjutnya
menutup perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanya-tanya. Ada masalah
apa sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya padanya?
Shanti
menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia
sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju
ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
”Ya Ma?” Sapaku
langsung pada Mama.
“Din, kamu dimana
sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang”
Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.
”Iya Ma. Sebentar
lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan
telat datangnya” Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja masih ada
di Senayan.
”Sok tahu kamu.
Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah.
Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah” Ucap Mama sambil menutup
teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat
hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu artinya aku
tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih aku
pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)