Sampai
dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera
mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang
hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama
menyuruhku ini dan itu.
Selepas
mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang
menurutku aneh.
”Din, coba kamu
pakai ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!” Pintanya
sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
”Untuk apa sih
Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak usahlah pakai baju yang
berlebihan. Kayak mau pergi saja” Tolakku tanpa mau mengindahkan permintaan
Mama. Kuperhatikan gamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok dipakai ke acara
walimahan.
”Eh, malam ini
kamu harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan
marah sama kamu. Dipakai ya?” Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa termenung
sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang
sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus mengenakan gamis itu.
Kuturuti
saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan
keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul
tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran, apa
mereka sudah shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka dengan
hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan
minum dibelakang.
Hatiku
tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang malam
ini. Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya.
Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil
namaku.
”Dinda!! Kesini
sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!” Teriak Mama.
”Iya sebentar
Ma!” Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas
melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalam-dalam
lalu kuhembuskan.
Wajah
yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh
besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani mengalihkan
pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan
kedua tanganku pada suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji
penampilanku.
”Wah!! Malam ini
Dinda cantik sekali. Cocoklah” Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah
tanda tanya besar dihatiku. Cocok?!
”Ah, Bu Rahayu
bisa saja. Terima kasih atas pujiannya” Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat
aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja
kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini.
Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di
belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi
siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan
keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil
membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah
keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu
Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih
padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu
dan suaminya.
Aku
berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima
kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang
dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba
saja merasuki jiwaku.
Aku
kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah
kutata. Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama
menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan
dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah
sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
”Ya, tujuan kami
datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga untuk
membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang
sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?”
”Ya ya, betul
betul” Sahut Papa.
”Saya yakin Bapak
sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini” Lanjut Pak Sardi.
”Saya hendak
melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?”
”Prang!!” Sendok
yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut
mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu
dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan
aku mendengar jawaban Papa.
”Ya, kami sangat
senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu.
Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan
senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah awal untuk
kebaikan kita bersama”
”Amin!” Jawab
semuanya serentak.
Dalam
hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu?
Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu
denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga,
sebenarnya aku mau menerimanya.
Oh,
senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia
Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja
kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu
mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar sifat kami
masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama
memnggil namaku.
”Dinda! Kesini
sebentar Nak!”
Aduh! Bagaimana
ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau
tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
”Iya Ma,
sebentar” Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku menunduk.
Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku.
Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
”Kamu sudah
mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?” Tanya Mama sambil
mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
”Lalu bagaimana
dengan kamunya? Menerima tidak?” Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung
kujawab ”Mau..mau!!” Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam sejenak sambil
menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.
”Dengan segala
kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka
dengan menyebut nama Allah....” Kutarik nafasku perlahan.
”Aku menerimanya”
Lanjutku.
Lega
rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf.
Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk.
Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi
sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan
senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya,
sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa
gugupnya.
Aku
tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku.
Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga
besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses
pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)