Ponselku
berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku
kurang menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi
ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone ’Merah Saga’nya Shoutul
Harokah, nasyid kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku
tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban
telepon dariku.
”Assalamu’alaikum.
Ada apa Mas?” Tanyaku segera tanpa basa-basi.
”Wa’alaikumussalam.
Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya
kita menginap di rumah Ibu” Jawabnya singkat dengan cepat. Ibu yang dimaksud
adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku.
”Acara apa
memangnya Mas?”
”Acara bedah buku
bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada Shoutul Harokah dan Izzatul
Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku disana” Sahutnya datar.
”Oh. Ya sudah kalau
begitu, kita ketemu disana jam 5 ya?”
”Ya.
Assalamu’alaikum” Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup
teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
”Wa’alaikumussalam”
Aku
terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang baru saja aku alami tadi. Mas
Yusuf meneleponku. Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk
yang pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia
mengajakku pergi bersama. Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku
impi-impikan. Pergi ke sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa
menggandengku dan menuntunku. Seperti apa yang sering aku lihat. Tapi apakah
nanti dia mau menggandeng dan menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan
selama ini? Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Kuselesaikan
kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi. Kali ini satu
pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum kecil
sambil membaca isi pesannya.
Tunggu sj di dpn
pintu msk dan jgn kmn2 smp aku dtg.
Aku membalasnya.
Baiklah. Aku
janji tak akan kmn2 smp kau dtg.
Aku
bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk memperbaiki hubungnku
dengan Mas Yusuf.
Waktu
berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku
langsung bergegas pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok
lumayan jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas
Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot
jurusan Pasar Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung
lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat satu kursi pertama di
dekat pintu. Di daerah Poltangan, banyak penumpang yang turun, namun tak
sedikit pula orang yang berebut untuk naik.
Disaat
yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik dengan membawa
beberapa kantong plastik yang aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara
ibu tua itu membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua tempat
duduk yang ada. Penuh. Semua kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir.
Ibu itu hendak menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus
dan mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu
itu sudah di dera keletihan yang teramat sangat. Peluh di wajahnya
menggambarkan sekali kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk
untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke
semua penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu itu. Ada seorang perempuan
muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki
yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang
tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu
pura-pura kembali membaca.
Tanpa
pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari dudukku dan kupersilahkan ibu itu
untuk duduk di kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan kebahagiaan yang
tiada terkira terpancar di wajahnya.
”Terima
kasih ya Nak?” Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di pangkuannya. Aku
mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di jalan raya. Terus
berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku berpikir tentang semua
orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang
sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada
yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari
mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil
memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari
mereka yang merasa kasihan melihat ibu itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit
dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak
pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja
berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba
aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku sampaikan,
tentang ’amal kebaikan’ di halaqah pekan kemarin.
”Dari
Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan
seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari
kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang sedang mengalami
kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang
siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan
akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong
saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul
di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya
bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat Allah akan
menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di sekelilingnya, dan Allah akan
memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di sisiNya. Barangsiapa
amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya”
Aku
ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga
yang Allah janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah
terduduk itu tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti
menginginkannya. Tapi aku lebih yakin lagi, meskipun mereka mengetahui berapa
besar balasan yang akan Allah berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk
daripada harus berpanas-panasan sambil berdiri sementara mereka sudah
mendapatkan tempat duduk yang enak.
Menurutku,
mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu
lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah pahala.
Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting
di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi
pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka
juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda. Mereka
bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan
kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka semua bisa
lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan
tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil
yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil
yang aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin
menyalahkan siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang
banyak orang yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu
sendiri.
Ada
yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah
kemacetan, atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang
Bisa bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya
pendapat dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar
bagaimana pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan
menyelesaikan masalah. Malah justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita
yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas kepada siapa keluhan itu ditujukan.
Lebih baik bersabar dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua
keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran
kita, dan keuntungan yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu
berpikiran positif pada segala hal, termasuk kemacetan.
Yang
pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo’a kelak kota
Jakarta ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan
kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan
bijak.
Bumiwiyata
sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang
jalan dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab
lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot
tipis. Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu
masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak
yang datang namun tak sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka dengan
biasa saja. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku
sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke 25. Tak
ada jawaban.
”Telepon yang
anda tuju, untuk sementara tidak dapat di hubungi. Cobalah beberapa saat lagi,
atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Itulah
jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan Mas
Yusuf? Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku
kenal sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil
tersenyum.
”Assalamu’alaikum”
Ucapnya dengan lembut.
”Wa’alaikumussalam”
Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
”Afwan kamu Dinda
kan, istrinya Yusuf?”
”Iya. Kamu pasti
Alifa” Jawabku menimpalinya.
”Iya aku Alifa.
Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?”
”Bagaimana
mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke
pernikahanku”.
”Oh, syukurlah
kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku”
”Tenang saja. Aku
selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu
ikut acara ini?”
”Iya. Kamu
sendirian? Yusufnya mana?”
”Mungkin sebentar
lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini”
”Oh begitu” Sahut
Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
”Oh iya hampir
lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
”Ini” Ucapnya
sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku
menerimanya.
”Ini undangan
pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka
undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur
Maulana.
”Selamat ya?”
Ucapku padanya. Dia mengangguk.
”Kalau begitu aku
ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku
nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
”Insya Allah
nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat
lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga
datang. Kemana dia?
Tak
lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book
fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya
tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
”Assalamu’alaikum.
Yusufnya kemana ukhti?” Tanyanya padaku.
Aku menggeleng,
”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.
”Oh...Bukannya
bareng?”
Aku
menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas
Yusuf sudah datang.
”Tadi sih ana
ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi
sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini” Jelasnya.
”Memang Mas
Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.
”Tadi pagi
kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya
abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas
Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu
juga sih”
Aku terdiam
sejenak.
“Randi!! Ayo!”
Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu
bernama Randi.
”Afwan. Ana
duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi
memanggilnya.
”Wa’alaikumussalam”
Sahutku.
Pikiranku
semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku
sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku
bimbang?
Sesaat
lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan
telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan
kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak
menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan
kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat
ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang
turun semakin deras.
Langit
sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap
bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak
menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada
Mas Yusuf.
Setelah
shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti
datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang
membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf
kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang
isinya,
Mas, bkn mksudku
ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh
tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/
plg skrg.
Kukirim
segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hamba-hambaNya
yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf.
ternyata. Isinya,
Aku segera
kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba
air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan
pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf,
tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku
yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak
mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat
jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku
saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.
”Maaf ya, maaf
banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi
kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak
mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengajak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak
marah kan?” Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Aku
memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus
menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia
tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap,
”Iya”
”Maksudnya?”
Tanyanya tidak mengerti.
”Coba kamu
pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa
maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia terdiam.
Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku
teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera
mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
”Nih” Ucapku
sambil menyodorkan undangannya.
”Apa ini?”
Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
”Undangan
pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap
datar.
”Mungkin inilah
yang terbaik”
Aku hanya diam.
Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil
naik aku berkata,
”Sebaiknya kita
tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang
basah. Lebih baik besok saja kita kesananya”
”Baiklah”
Sahutnya.
Motor yang kami
tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan
kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang
tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah
janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat
menentukan. Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya
dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku.
* * *
Hari
pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah
kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku
langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.
Mas
Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia
masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya
dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah
menulis nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita
berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman
penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar
tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari
ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari
pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi
Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu
hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri.
Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku
sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu.
Mungkin dia berpikir, ’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan
lelaki yang bernama Guntur itu’.
Astaghfirullah!!
Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki
halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan
undangan wanita di pisah oleh hijab.
Aku
bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat
yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
”Barakallah ya
Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”
”Syukran ya?”
Ucapnya.
Aku
mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap
sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi,
Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas
Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan
sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah
berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat
akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan
makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan.
Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.
Sebelum
pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan
kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah
mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami
masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)