Waktu
berjalan begitu cepat rasanya. Aku masih ingat betul seperti apa raut wajah Mas
Yusuf ketika dia mengetahui keadaan Alifa saat ini.
Dari
kantor aku langsung pergi kerumah sakit untuk menjenguk Alifa. Kondisinya tidak
begitu baik dari waktu aku menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana.
Namun kali ini aku bertemu dengan mertua Alifa dan beberapa anggota
keluarganya. Satu informasi lagi, sampai sekarang belum ada seorang laki-laki
pun yang mau menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam
hati, kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi Alifa.
Setelah
dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Jujur, aku sudah tidak sabar
mendengar jawaban Mas Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang, Mas Yusuf belum
juga pulang. Aku coba menghubunginya lewat hand phone tapi tidak aktif. Mungkin
dia pergi lagi kerumah Bule Rinta, atau mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di
rumah sakit? Entahlah, aku sudah mulai cemas.
Tiba-tiba
hand phone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang tidak kukenal. Kuangkat.
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam.
Apa benar ini Ibu Dinda?” Suara seorang laki-laki tak kukenal menjawab salamku.
”Iya benar, saya
Dinda. Maaf ini siapa ya?”
”Saya Pak Azril,
petugas kepolisian”
”Petugas
kepolisian?”
”Iya. Saya ingin
memberitahukan bahwa suami ibu yang bernama Yusuf saat ini ada di rumah
sakit...”
”Di rumah sakit?
A, ada apa dengannya Pak?” Tanyaku dengan panik.
”Tadi siang suami
ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan akhirnya
dia terpental sejauh lima belas meter dari lokasi kejadian. Kondisinya saat ini
sangat kritis dan dia belum sadarkan diri”
Suara
petugas kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuhku. Aku
bingung harus berbuat apa. Setelah polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf
dirawat sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat.
Mas Yusuf dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa
dirawat. Apa mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia
kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit?
Belum
sempat aku menemukan jawaban itu, aku langsung pergi ke Pasar Rebo untuk
mengetahui kondisi Mas Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti
menangis. Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit melihatku dengan
heraan, kenapa dari tadi aku menangis? Diapun tak berani menanyakan perihal itu
padaku.
Setelah
aku membayar ongkos taxinya aku langsung berlari ke ruang UGD untuk mencari
suamiku, Mas Yusuf. Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan...ada.
Di pojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua
orang polisi yang kini menemaninya. Segera saja aku menghampirinya.
”Permisi Pak.
Saya Dinda, istrinya Yusuf” Ucapku pada dua orang polisi itu.
“Oh, anda yang
bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu” Sahut seorang polisi yang mengenakan
jaket tebal dan berkumis. Aku mengangguk pelan dan segera mengalihkan
pandanganku pada Mas Yusuf.
Di
keningnya terdapat perban yang membalut lukanya. Di tangan kanannya pun
terdapat sebuah jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam
tubuhnya. Wajahnya penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya
terhantam benda keras.
”Bagaimana
keadannya Pak?” Tanyaku pada salah satu polisi itu.
”Coba Mbak
tanyakan saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster yang ada disana” Jawab
polisi itu sambil menunjuk kearah seorang dokter dan dua orang perawatnya.
Aku
mengangguk dan menghampiri dokter itu. Setelah dokter itu memberitahukan
kondisi Mas Yusuf sekarang, aku langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas
Yusuf bisa segera dipindahkan ke ruang rawat inap.
Aku menurut saja.
Karena
aku tidak membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM. Setelah
urusan administrasi selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat inap
kelas satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan yang benar-benar
intensif agar dia bisa cepat sembuh.
Air
mataku tidak bisa berhenti sampai Mas Yusuf di pindahkan ke ruang rawat inap.
Aku teringat Alifa. Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi
menemani Mas Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan polisi itu mengatakan
bahwa lokasi kejadian itu tak jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu
Mas Yusuf dibawa kesini.
Aku
sempat mengaitkan kejadian itu dengan keadaan Alifa saat ini. Mungkin saja Mas
Yusuf telat pulang kerumah karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan
diri menjenguk Alifa yang berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf dirawat
kini. Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada
satu orang pun yang mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu siapa yang
sebenarnya hendak menikahi putrinya itu, mereka pasti akan terkejut. Tapi
sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh berbeda dengan kondisi Alifa saat ini.
Aku
kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk disampingnya sambil memandangi
wajahnya yang pucat. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu
itu aku teringat, aku belum shalat Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid
terdekat.
Setelah
shalat Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid. Merenungi segala kejadian yang
baru saja aku alami. Tiba-tiba aku teringat, aku belum memberi kabar pada orang
tua dan mertuaku.
Kupencet
nomor telepon orang tuaku dan kuberitahukan keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka
benar-benar tidak menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas Yusuf
malam ini juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah menjenguk Mas Yusuf
sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami.
Setelah
menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak bisa
menahan tangis haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan. Sama seperti
orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf sekarang tapi aku juga melarang
mereka dengan alasan hari sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras
dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa menangis saat ibu mertuaku
menyuruhku untuk tabah. Malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan untukku.
Kuputuskan untuk
kembali ke kamar dan menemani Mas Yusuf disana. Aku ingin memberikan seluruh
kasih sayangku padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.
* * *
Hari-hari
aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sudah dua hari Mas Yusuf dirawat dan
sampai sekarang dia belum sadarkan diri. Dokter bilang ini disebabkan oleh
reaksi obat yang masuk kedalam tubuhnya. Mungkin beberapa jam lagi dia akan
sadar kembali. Tapi aku tidak bisa menahan rasa cemasku padanya.
Di
setiap shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir do’aku agar Allah
berkenan menyembuhkannya. Aku tak kuasa menahan air mataku kala aku menatap
wajahnya.
Sudah
dua hari ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah meminta izin cuti pada pihak
kantor. Alhamdulullah mereka mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang
hendak menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku lupa memberikan
prakata ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan alasanku kenapa aku
sampai lupa. Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana mengundurkan
proses penerbitan novelku.
Selama
aku menemani Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa juga
dikamarnya. Masih tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi tahu
oleh pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki yang datang menjenguk Alifa
membawa serta kedua orang tuanya.
Laki-laki
yang datang itu hendak meminang Alifa sebagai istrinya. Dia bersedia membantu
Alifa mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak
keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka lakukan atas
permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku
kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah menyembunyikan dirinya di
peraduannya. Tadi siang ayah dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas Yusuf.
Selepas Ashar, mereka pulang. Dan tinggal aku sendiri di dalam kamar menemani
Mas Yusuf yang belum juga sadar sampai detik ini.
Selama
dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya dengan handuk kecil basah.
Aku tak kuasa melihat tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu. Dokter
bilang memang tidak ada yang serius tapi aku sebagai istrinya benar-benar
khawatir akan keadaannya saat ini.
Dari
luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku lansung bergegas mengambil air
wudhu dan langsung menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur Mas Yusuf.
Selesai
shalat, aku bermunajat pada Tuhan semesta alam. Ku adukan semua gundah gulanaku
saat ini. Sambil ditemani air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku
berdo’a untuk kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas
pernikahanku. Aku mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan
Mas Yusuf berikan padaku. Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku
juga masih memikirkan siapa laki-laki yang datang dan hendak meminang Alifa
itu.
Aku
sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb penggenggam hati seluruh makhluk di
dunia ini, Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau nantinya Mas Yusuf sadar dan
dia memutuskan untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya aku ucapkan dengan penuh
pengharapan bahwa Allah berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf,
dan Alifa.
Kusudahi
doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma’tsurat dan tilawah Qur’an
beberapa lembar. Selesai itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir kursi.
Dengan masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf dengan mata yang sedikit
memerah akibat menangis.
Kuseret
kursi yang ada dan kududukkan tubuhku disana. Kubetulkan selimut yang menutupi
tubuhnya. Sesaat kutatap wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan
kuberanikan diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin
melepasnya.
Inilah
untuk yang pertama kalinya aku menggenggam tangan suamiku setelah setahun
pernikahan. Kuciumi tangannya sambil berucap kata-kata mesra untuknya. Sekali
lagi aku tak kuasa menahan tangisku. Tangis yang begitu menyedihkan untukku.
Sedih karena Mas Yusuf belum juga sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas
Yusuf belum juga bisa menerimaku sebagai istrinya.
* * *
”Saya terima
nikahnya dan kawinnya, Alifa binti Sukirman dengan mas kawin tersebut. Tunai”
Ucap Mas Yusuf dengan lantang.
Semua
yang hadir memberikan tepuk tangan yang meriah. Diantara semua tamu yang hadir,
mungkin hanya aku saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap Mas
Yusuf dan Alifa dengan perasaan hancur.
Setelah
akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi meninggalkan aku sendiri. Aku duduk
terdiam tanpa menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas Yusuf tidak
memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Yusuf
pergi dari hadapanku.
Aku
menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa pergi membawa Mas Yusuf.
Tiba-tiba,
aku terbangun dari tidurku. Astaghfirullah! Ternyata semua hanya mimpi. Aku
tertidur di tepi tempat tidur. Kuingat kembali mimpiku barusan. Mimpi tentang
pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku masih belum memikirkan bagaimana jadinya
kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu,
Mas Yusuf terlihat tidak bahagia?
Kembali
kupandangi wajah Mas Yusuf.
Kuseka
air mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tegar. Kuletakkan tangannya di
tempat tidur. Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan
wajahku ke wajahnya. Dan....Subhanallah. Aku menciumnya.
Aku
mencium bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama kalinya aku menciumnya
setelah setahun pernikahan. Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan
bahagia, senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin
rasanya sekali lagi aku menciumnya tapi aku takut. Aku takut kalau dia sampai
tidak ridho dengan apa yang barusan aku lakukan padanya, Allah pasti akan murka
terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila suami tidak ridho, maka
Allah pun tidak ridho pula.
Tiba-tiba
ada perasaan berdosa yang seketika menyusup kedalam hatiku. Apakah aku berdosa
bila menciumnya tanpa seizinnya? Rabbi maafkan aku.
Perlahan
kumundurkan kakiku sambil menggeleng. ”Maafkan aku Mas, maafkan aku” Ucapku
pelan.
Aku
berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana. Sambil termenung, aku membuka
mukenaku dan menggantinya dengan jilbab coklat.
Dari
jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf menggerakkan jarinya. Oh
Tuhan, apa dia sudah sadar?
Aku
hampiri dirinya sambil menggenggam tangannya.
”Mas Yusuf? Mas
sudah sadar?” Tanyaku dengan perasaan senang bercampur cemas.
Perlahan
kulihat kedua matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dan...Alhamdulillah, dia bangun.
Aku berucap syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf. Air mata
begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan bibirnya.
”D..Dinda. A, aku
ha..us” Ucap Mas Yusuf lirih sambil terbata-bata. Aku segera mengambilkan air
putih yang ada di samping tempat tidurnya dan membantunya minum melalui
sedotan.
Setelah
minum, dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun ekspresi
wajah yang lain. Aku takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku sungguh
takut. Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi tahu dokter bahwa Mas
Yusuf sudah sadar.
Aku
melangkah keluar untuk memanggil dokter dan meninggalkan Mas Yusuf di kamar.
Namun baru beberapa langkah aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua benda
yang ada dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat sangat
diperutku. Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Ketika
kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang
dan terjatuh di lantai. Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa
orang suster berlari menghampiriku. Tapi aku sudah tak kuat lagi bangun.
Kurasakan tubuhku diangkat. Makin lama aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.
* * *
Perlahan
kubuka mataku yang tadinya sulit untuk kubuka. Namun kupaksakan karena memang
aku ingin bangun dari tidurku. Awalnya gelap, lalu perlahan cahaya itu mulai
masuk dan menembus kornea mataku. Aku merasakan kehangatan di keningku. Sebuah
kecupan hangat tengah mendarat disana.
Yang
aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium keningku. Samar-samar aku
melihatnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata
laki-laki itu adalah suamiku. Ya, dia adalah Mas Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku
tengah mencium keningku. Apakah ini nyata?
Aku
hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu kemudian dia
menatap wajahku lekat-lekat.
”Kamu sudah
sadar?” Tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.
”Ya” Suaraku
terdengar begitu lirih.
Dia tersenyum.
Kulanjutkan perkataanku.
”Kau menciumku?”
Mas Yusuf mengangguk
sambil tersenyum.
”Karena kau
adalah istriku.” Jawabnya dengan nada yang sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku
masih belum mengerti apa maksudnya.
”Bukankah....”
”Sstt!” Mas Yusuf
segera menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Aku melihat ada yang berbeda
dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sesuatu yang aku tidak mengerti apa
sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap,
”Sudah dua hari
kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Kamu ingat?”
Aku berusaha
mengingatnya kemudian mengangguk.
”Iya aku ingat.
Waktu itu aku ingat kamu sadar dari koma, dan aku langsung memanggil dokter
untuk segera memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan mual di
perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Seketika aku merasakan tubuhku
melayang dan terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang
terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya” Jelasku.
”Ya, kamu pingsan
karena terlalu lelah menjagaku setiap hari. Dokter dan perawatnya segera
membawamu untuk diperiksa” Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir mendekati
wajahku.
”Maafkan aku
Mas...” Lirihku.
”Untuk apa?”
”Kemarin saat
kamu tidak sadarkan diri, aku...aku sempat menciummu. Aku harap kau tidak marah
padaku. Dan semoga kau ridho atas perbuatanku itu”
Mas Yusuf terdiam
menatap wajahku. Aku semakin takut. Namun tiba-tiba dia tersenyum dan berkata
dengan manis padaku.
”Kenapa aku harus
marah padamu?”
”Ja, jadi kamu
nggak marah sama aku?” Tanyaku yang kemudian disusul dengan gelengan kepala dan
senyuman Mas Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah mendapat
pengakuan darinya.
”Aku adalah
suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu merasa takut atas perbuatanmu.
Insya Allah, Allah akan meridhoinya. Justru aku yang harusnya minta maaf
padamu”
”Untuk apa?”
Tanyaku pura-pura tidak mengerti.
”Maaf jika selama
ini aku tidak sepenuhnya menjadi suami yang bertanggung jawab, jika aku sering
menyakiti hatimu sehingga sering membuatmu menangis di tengah malam”
Hah!! Aku
terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku sering menangis di tengah malam?
Aku masih bingung dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus melanjutkan
kata-katanya.
”Maafkan jika
selama ini aku selalu membuat kamu terbangun sebelum fajar untuk makan sahur,
karena aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami untuk
memuaskanmu”
Aku semakin
terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu? Aku tidak pernah menceritakan hal itu
pada siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu?
”Sekali lagi
maaf, karena aku pernah berbohong padamu...”
”Berbohong apa
Mas?” Tanyaku tidak mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.
“Tempo hari,
sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang padamu kalau aku ada
urusan di sekolah sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku memang ada
urusan, namun setelah itu aku pergi kesana bersama teman-temanku. Dan aku tahu,
kau melihatku disana kan? Tapi karena kau tidak mau aku melihatmu yang
memergoki aku, makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya
kan? Aku benar-benar minta maaf atas hal itu. Aku sungguh menyesal” Jelas mas
Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
Aku
masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan air mataku mengalir begitu
saja bagaikan anak sungai. Aku lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku
menghapus air matanya dengan tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku jadi
terharu. Lantas, segera saja aku menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal
itu, dan dia menjawab.
”Buku harianmu.
Aku sudah membaca semua tulisanmu yang ada disana. Juga kaset rekaman itu. Aku
sudah mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas kesalahanku selama ini”
Pintanya sambil terisak dan terus menciumi tanganku. Aku pun semakin sedih dan
ikut terisak juga. Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya
aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
”Mas, apa...apa
semua itu berarti, kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu?”
Perlahan
kutatap kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta itu masih tersisa disana. Aku
perhatikan dan dia mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu
berarti, cintaku terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku merasakan cinta
yang sesungguhnya. Cinta seorang suami kepada istrinya. Aku merasa menjadi
wanita yang paling berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum.
Bahkan lebih manis dari biasanya.
Kupandang
lekat-lekat wajah itu.
”Apa yang
akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?”
”Karena kau
adalah anugrah terindah yang pernah Allah berikan untukku. Kau jiwaku, kau
nafasku, kau nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang telah
membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau aku mencintaimu.
Aku sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu dalam
hatiku. Tidak akan ada”
”Termasuk Alifa?”
Tanyaku dengan tiba-tiba.
”Ya. Termasuk
Alifa.” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Lalu apa
keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia membutuhkanmu Mas...”
Mas Yusuf terdiam
sejenak.
”Sebelum aku
menjawabnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Terima kasih atas kesabaranmu
selama ini padaku. Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh cintamu
padaku. Terima kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo’akanku
selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih...”
”Sstt!” Sahutku
menyela perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya.
”Kau sudah
terlalu banyak mengucapkan terima kasih padaku. Hanya dengan rasa cintamu
padaku pun, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal
percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas...” Ucapku pelan.
”Terima kasih
sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah...” Ucapnya
senang.
Aku
terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku tak sanggup berucap satu
katapun. Yang ada malah lelehan air mata yang mengalir di wajahku lalu menyerap
ke jilbab yang aku kenakan sekarang.
Aku benar-benar
terkejut mendengarnya.
”Kamu hamil,
sayang....” Ucap Mas Yusuf lagi dengan penuh kemesraan.
Air mataku
kembali mengalir membasahi jilbabku dan kini semakin deras.
”Kau tidak
membohongiku?” Tanyaku seolah ingin penegasan.
Mas Yusuf menggeleng.
”Aku tidak
bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini kau tengah mengandung anakku. Anak
kita. Buah cinta kita”
Kuberikan
senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku benar-benar hamil. Sebentar lagi aku
akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan
kebahagiaan ini padaku.
”Kemarin kamu
pingsan karena terlalu letih. Dan setelah diperiksa oleh dokter, ternyata kamu
tengah mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu harus jaga kesehatan
ya?” Pinta Mas Yusuf padaku.
Aku
mengangguk dengan air mata yang terus meleleh. Mas Yusuf menghapusnya dengan
sentuhan hangatnya.
Namun
tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih
ada satu yang mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja aku alami
memang suatu kebahagiaan yang sangat aku impikan. Kebahagiaan karena akhirnya
Mas Yusuf bisa mnerimaku dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.
Tapi
biar bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab atas permohonanku pada Mas Yusuf
yang memintanya untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala
konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan
kesediaannya untuk menikahi Alifa.
Aku terdiam dari
tangisku dan mulai bertanya,
”Mas...”
”Hm?...”
Kuhela nafasku
sesaat.
”Mencintaimu adalah
suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau sudah bisa
menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin lengkap, apalagi
sebentar lagi kita akan menjadi orang tua bagi anak kita. Tapi aku tidak mau
egois. Saat ini, aku ingin mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau
menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah
dikandungnya, juga butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan
yang terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada Alifa”.
Kulihat
Mas Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya.
”Kau tunggulah
disini sebentar. Aku akan keluar untuk memberikan jawaban dan keputusanku
terhadap penawaranmu” Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar kamar sambil
menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang hendak suamiku lakukan?
Sambil
menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku menunggu Mas Yusuf datang dengan
membawa jawaban dan keputusannya. Sungguh, saat ini aku begitu resah. Tiba-tiba
Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya. Tak ada yang berubah darinya. Juga tak
ada yang dibawanya. Kuperhatikan wajahnya.
”Apa keputusanmu
Mas?” Tanyaku dengan serak menahan tangis.
Dia
menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang keluar kamar dengan wajah
berseri-seri. Aku tambah tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar kamar.
Masih
dalam kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan aku melihat sebuah bayangan
datang menghampiri kamarku. Bayangan siapa itu?
Tiba-tiba,
aku melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku dengan menggunakan
kursi roda. Dan orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah orang yang
sangat aku kenal.
Dia
Alifa dan Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut ghamis coklat dan jilbab
hitam, dan yang mendorongnya adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat
Mas Yusuf. Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera menikahi
Alifa. Orang yang dulu sempat menegurku pada saat acara di Bumiwiyata, Depok.
Kenapa mereka datang bersamaan?
”Alifa?! Randi?!
Kalian....” Ucapku tergagap.
”Ya. Alifa sudah
menikah dengan Randi” Sahut Mas Yusuf mengejutkanku.
”Apa?”
”Ya Dinda. Aku
sudah menikah dengan Randi. Dia telah membantuku untuk tetap hidup. Dia juga
sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah, Randi sudah berkenan
menjadi suamiku” Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya mendekatiku.
Mas Yusuf dan
Randi pergi keluar kamar meninggalkan aku dan Alifa berdua.
Sambil
menggenggam tanganku, Alifa berkata,
”Aku tahu kamu
wanita yang sangat mulia hatinya. Aku sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu
menyuruhnya untuk menikahiku bukan? Niat baikmu untuk menjadikanku sebagai
istri kedua Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku tahu yang
hendak menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya...”
”Kenapa?”
”Karena aku tidak
mau melihat kamu bersedih. Aku yakin hatimu pasti hancur ketika Yusuf sampai
menikahiku. Untung saja belum Yusuf memberikan keputusannya karena dia
mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang dengan sebongkah rasa kasihan dan
cintanya untukku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti ini.
Kepergian Mas Guntur memang menyisakan luka yang mendalam untukku. Sampai aku
harus dirawat di rumah sakit dan mengalami koma. Dokter bilang, penyakitku ini
disebabkan karena aku mengalami tekanan batin yang begitu mendalam sehingga
harus ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami keduaku. Aku juga
tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi memang, setelah Randi menikahiku
dan dia mulai membisikkan kata-kata mesranya untukku, seolah ada setetes embun
pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi. Ketika Randi menyentuh
tanganku dan membelaiku, perlahan aku seperti menemukan kembali semangat
hidupku. Memang aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang kulihat bukanlah
Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku sendiri yang kini telah menjadi suamiku.
Awalnya aku sempat drop lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan
akhirnya aku sudah bisa menerima semua kenyataan ini, kalau Mas Guntur sudah
tiada dan yang menggantikannya adalah Randi. Terima kasih ya? Karena biar
bagaimanapun, kau sudah berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau
menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang tengah kukandung ini. Dan
selamat ya? Akhirnya kau juga akan menjadi seorang ibu”
Alifa
menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru ingat,
ternyata laki-laki yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak menikahi Alifa
adalah Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah menyelamatkan hati dan cintaku
ternyata adalah Randi. Karena dia, akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua.
Terima kasih Randi.
”Kapan kamu
menikah dengannya?” Tanyaku.
”Kemarin. Bahkan
Yusuflah yang menjadi saksi pernikahan kami”
Diam-diam ada
perasaan syukur yang menyusup kedalam diriku.
Tak
berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke kamar. Aku tersenyum pada mereka
dan kuucapkan selamat pada Randi. Kami pun berbincang bersama di kamar itu.
Penuh keceriaan dan tawa yang kami ciptakan saat itu.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)