Di
tengah pejam malamku, tiba-tiba aku terbangun. Aku merasakan haus yang tak
tertahankan. Akhirnya aku bangkit dari tidurku dan melangkah keluar kamar.
Betapa terkejutnya aku melihat suamiku tengah tertidur di depan laptopnya.
Kulirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Aku terenyuh melihatnya. Kuhampiri
dia. Wajahnya begitu lelah terlihat. Wedang jahe yang tadi aku buatkan untuknya
juga sudah habis diminumnya. Aku juga melihat ketikan di komputernya. Masih
banyak yang belum ia selesaikan. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk
membantunya?
Sejenak
aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk menghubungi Mas Bambang,
temannya Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soal-soal
yang tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran
matematika. Tapi, apa tidak terlalu malam untuk menghubunginya? Apa tidak
mengganggunya? Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini
tidak selesai malam ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang bisa
dikerjakan. Aku putuskan untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf
yang tergeletak di meja dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu
kupanggil. Bismillah.
Sesaat
lamanya yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi lagi. Alhamdulillah
diangkat.
”Ada apa Suf?
Malam-malam kok mengganggu saja” Ucap Mas Bambang dengan nada kesal. Terdengar
sekali suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.
”Maaf Mas, saya
Dinda, istrinya Mas Yusuf” Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun.
”Oh, maaf...maaf.
Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?” Tanya Mas Bambang
terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya Yusuf, bukan
Yusuf.
“Maaf ya Mas,
sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata pelajaran Mas
Yusuf itu akan diujikan besok pagi, Mas ya?”
”Oh...iya.
Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia.
Ada apa rupanya ya?” Tanya Mas Bambang ingin tahu.
”Tidak Mas, tidak
ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa nomor ya
Mas?”
”Setiap soal
pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40 nomor”
Jelas Mas Bambang singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang
diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang
cukup besar bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus
berputar dan malam semakin larut menjelang.
”Ya sudah Mas,
terima kasih kalau begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam” Ucapku masih dengan
pelan.
”Ya...ya, tidak
apa-apa” Sahut Mas Bambang.
”Makasih sekali
lagi Mas, ya. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam”
Jawabnya menutup pembicaran.
Aku
langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama konsep
soal-soal fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya
dengan melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya dan mengetiknya.
Agak sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat
asing bagiku. Namun karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus
benar-benar berusaha untuk menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu
terus bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima
belas detik. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan
kurasa benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint
semuanya di komputerku yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa
syukurillah, lima lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman
dengan ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini karena
akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan
lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan semua kertas-kertas yang ada
disana dan kumatikan laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat melaksanakan
shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan mataku menatap
wajah Mas Yusuf. Begitu bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan
pancaran cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali rasanya aku menyentuh
wajahnya, membelai rambutnya, dan...mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin
sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan ciuman hangat
darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku untuk menciumnya diam-diam. Aku tak
ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah. Jika memang seumur hidup aku tidak
akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya
dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.
Ku langkahkan
kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
* * *
“Dinda, apa semua
ini kamu yang mengerjakan?” Tanya Mas Yusuf ketika dia baru saja terbangun dari
tidurnya. Aku melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan balik bertanya
padanya seolah-olah tidak mengerti apa yang ditanyakannya.
”Mengerjakan
apa?”
”Soal-soal UTS
ini?” Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca dengan
seksama kertas-kertas soal yang dimaksud.
”Oh! Iya, itu aku
yang mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?”
Mas
Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja
bertemu ketika membaca soal-soal itu.
”Ehm....Tidak,
tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada beberapa kata yang salah
penulisannya” Jawabnya sambil memandang kearahku kemudian menunduk lagi
memeriksa soal-soal itu.
”Syukurlah kalau
begitu” Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng dan telur
dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf.
”Hari semakin
siang, Mas. Kau belum shalat Subuh” Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar
mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
”Astaghfirullahal’adzim”
Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar
mandi tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburu-buru.
Nasi
goreng yang kubuat sudah matang. Kuangkat dan kusajikan menjadi dua piring.
Telur dadarnya pun senantiasa menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja
makan. Dari kamar mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa
kalau dia tidak membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk
mengambil air wudhu. Tapi karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian
saja dia mandi. Tanpa ingat kalau dia lupa membawa handuk.
Setelah
meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk
dan menyerahkannya pada MasYusuf.
”Mas, ini
handuknya!” Ucapku dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintunya.
Tak lama dia
membuka sedikit pintu kamar mandi dan mengulurkan tangannya seraya mengambil
handuk yang aku berikan padanya.
”Terima kasih”
Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku
kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres
semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia
kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera
bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah
keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci
pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian
dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
”Sudah shalat
Mas?” Tanyaku ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Dia hanya
mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di sebelahku. Di
hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan
ketimun serta tomatnya yang kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya sudah
aku siapkan segelas teh manis hangat untuk menghangatkan perutnya.
Dia
melahapnya dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan.
Tak ada perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin
sampai detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan acuh.
Padahal sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja
padaku. Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku
seperti semalam. Rasanya indah sekali.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf
menyudahi makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia
beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas soal
yang aku ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya
dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa
tasnya.
Aku
mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik
kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku
dengan biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
”Hati-hati di
jalan ya? Jangan ngebut” Pesanku sebelum dia berangkat.
Lagi-lagi
dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah kearah
motornya sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia
menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiriku.
”Ada apa lagi?
Ada yang tertinggal?” Tanyaku dengan penuh kebingungan.
Dia menggeleng
kemudian bersuara, ”Tidak ada yang tertinggal namun ada yang terlupa...”
Jawabnya membuat aku tambah bingung.
”Apa yang
terlupa? Biar aku ambilkan” Ucapku.
”Tidak usah kau
ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas bantuanmu
menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin pagi
ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian sambil di kejar-kejar
waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu malammu untuk
menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas” Ucapnya panjang
lebar membuat aku terhenyak.
”Tidak perlu
seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk
membantu suaminya” Sahutku menimpalinya.
Dia mengangguk
pelan dan kembali berkata, ”Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam”
Dia
pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia menyusuri jalanan dan menghilang
dari pandanganku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang
menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali.
Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam
pada sosok suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya.
Aku
pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)