Semuanya
sudah ditentukan. Prosesi pernikahan jatuh pada tanggal 23 April 2007. Akad dan
walimatul ursy-nya akan diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa Pasar
Minggu. Baju pengantin yang nantinya akan aku dan Yusuf kenakan pun sudah
ditentukan. Dan mahar, aku minta agar Yusuf cukup memberikan aku seperangkat
alat shalat, satu buah Al-Qur’an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al
Ikhlas.
Setelah
semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan keluarganya pamit pulang. Aku
pun ikut mengantarkan mereka sampai depan pintu. Aku masih belum menemukan
senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai pulang pun dia tak sedikitpun menatapku.
Aku mulai berpikir yang macam-macam.
Setelah
mereka pulang, aku langsung membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring yang
kotor diatas meja. Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih padaku.
”Apa ini Ma?”
Tanyaku heran.
”Surat dari calon
suamimu” Jawab Mama membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tertawa sendiri menerima
surat itu. Mataku mulai berair. Segera saja kupeluk erat tubuh Mama.
”Makasih ya Ma?
Akhirnya aku menemukan jodohku” Ucapku sedikit serak.
”Iya. Mama doakan
supaya kamu selalu bahagia” Sahut Mama sambil membelai kepalaku yang masih
tertutup jilbab. Aku beranjak kekamarku untuk menaruh surat dari Yusuf di atas
meja belajar. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat membukanya. Tapi aku harus
mencuci dulu semua piring-piring kotor didapur.
Setelah
selesai, aku langsung bergegas melangkah kekamar. Amplop putih itu kini seperti
harta yang paling berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus kehilangan
kata-kata dalam surat yang ditulis Yusuf untukku. Sekarang aku yakin, Yusuf
bersikap seperti itu tadi karena dia merasa gugup. Buktinya sekarang aku
menerima surat darinya. Lebih tepatnya lagi, surat cinta dari kekasihku.
Oh...aku jadi romantis begini. Sejak bertatap muka dengannya, hatiku ini memang
sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya.
Kubuka perlahan
surat itu. Isinya,
Assalamu’alaikum.
Wr. Wb
Kepada yang
terhormat
Dinda Altharina
Puteri
Di tempat
Aku sengaja
menulis surat ini dengan tulisan tanganku sendiri. Berharap kau bisa merasakan
apa yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan
ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja,
pinangan atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang
tuaku.
Mereka bilang,
sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak untuk menjadikanmu
sebagai menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu berteman sejak lama.
Tapi maaf, itu semua diluar kemauanku. Dan maaf sekali lagi, aku tidak pernah
berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang tuaku dan orang tuamu untuk
menjodohkan kita.
Aku tahu hal ini
adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Aku juga tahu bahwa
jika semua ini benar-benar terjadi, maka akan banyak orang yang aku bohongi.
Terlebih lagi, aku akan menjadi seorang pecundang dan pengecut karena telah
menyakiti perasaanmu.
Tapi aku juga
tidak bisa berbuat lebih banyak lagi sebab melihat kondisi ibuku yang sudah
sangat lemah, aku takut bila aku menolak permintaanya, sakitnya akan semakin
parah. Asal kau tahu saja, dua hari yang lalu ibuku masuk rumah sakit karena
aku menolak permintaannya.
Jadi aku mohon,
bantulah aku memainkan sandiwara ini didepan orang tua kita masing-masing. Aku
tahu segala sesuatunya itu akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Azza wa Jalla,
tapi aku tak bisa berbuat banyak lagi untuk hal ini.
Aku merasa,
belajarku selama beberapa tahun tentang Islam sia-sia saja karena akhirnya aku
harus membohongi banyak orang atas kepura-puraanku mencintaimu. Maaf sekali
lagi.
Pernikahan
bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih lagi bila tidak
dilandasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada ’nama’ lain yang mengisi relung
hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku harus menghapus ’nama’ itu dan
berusaha menggantinya dengan ’namamu’.
Jika memang tak
ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini, maka sebagai langkah
awalku dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku ceritakan semuanya ini
padamu. Jujur. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangkan. Aku tidak mau
mengawali semua ini dengan kebohonganku pada dirimu. Maafkanlah aku yang tak
mencintaimu.
Mungkin ketika
membaca surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha
mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf,
beribu-ribu maaf aku minta kepadamu.
Tolonglah malam
ini kau shalat tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik
untuk kita. Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu. dengan kepalsuan
cintaku.
Dan tolong jangan
ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku.
Sekian dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan dihatimu, mohon
dibukakan pintu maafmu untukku. Afwan
Wassalamu’alaikum.
Wr. Wb
Dari Seorang
Pengecut
Yusuf Abdul
Fattah
Remuk
redam rasanya jiwa ini ketika aku membaca surat itu. Air mata sudah tak dapat
lagi kubendung. Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa dunia ini
menjadi gelap di penglihatanku. Orang yang aku cintai ternyata tidak pernah
mengharapkanku. Dan sikapnya yang tadi kulihat janggal, ternyata benar adanya.
Tiba-tiba aku merasa bahwa Yusuf adalah manusia terjahat yang pernah aku
temukan selama hidupku. Tapi spekulasi itu tetap tidak bisa mengalahkan
perasaanku yang sejak awal sudah dipenuhi rasa cinta padanya.
Sekarang
aku mengerti apa yang diminta oleh Bu Rahayu padanya. Dan sekarang aku lebih
mengerti apa yang dibicaraknnya pada temannya di book fair tadi. Yang
dimaksudkan menyebar undangan adalah undangan pernikahanku dengan Yusuf. Dan
‘nama’ lain yang dimaksudkannya adalah nama ... Alifa. Nama seorang akhwat yang
tadi disebut-sebut oleh temannya Yusuf. Oh Alifa, mengapa tiba-tiba aku jadi
merasa cemburu padamu? Sebenarnya seperti apa sosok dirimu sehingga membuat
Yusuf jatuh hati padamu?
Aku
merasakan air mata kembali menetes membasahi kedua pipiku. Sebuah berita
menggembirakan yang baru saja aku dengar beberapa saat lalu, tiba-tiba saja
berubah bagai kilat yang menyambar yang menghantam tubuhku dan membuatnya
hancur berkeping-keping. Kalau saja aku tahu hal ini dari awal, aku tidak akan
pernah mau menerima lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu Rahayu jadi
jatuh sakit. Oh Ya Rabbi, tolonglah hambaMu ini.
Aku
bangkit dari dudukku. Aku berusaha mengumpulkan kembali sisa-sisa kepingan
hatiku yang tadi hancur berserakan. Kulirikkan mataku ke jam dinding. Sudah
cukup malam dan aku teringat, aku belum shalat Isya. Sekuat tenaga aku berdiri
dan melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Mataku
memerah tapi kutahan untuk menangis dihadapan Mama dan Papa. Mereka tidak boleh
tahu akan hal ini.
Malam
ini akan kuadukan semuanya pada Dzat Yang Maha Memberikan rasa, agar Yusuf
dapat menemukan arti dari sebuah makna cinta sejati.
* * *
Hari
ini hari Minggu. Pagi ini aku kelihatan lesu dan tidak berdaya. Seusai shalat
subuh, tilawah qur’an beberapa halaman, dan wirid ma’tsurat aku langsung
bergegas mandi dan membereskan rumah. Hari ini aku ingat ada jadwal liqa pukul
sepuluh nanti. Seusai membereskan rumah, aku langsung membuat sarapan seperti
biasanya. Makan satu meja bersama Mama dan Papa.
Di
tengah menyantap nasi goreng yang kubuat, tiba-tiba Papa menegurku.
”Din, kamu
kenapa? Sepertinya lesu sekali pagi ini?” Tanya Papa mengejutkanku dari
lamunan. Kupandangi wajah Papa dengan tatapan hampa.
”Iya
nih Din. Mama perhatikan dari tadi kok kamu diam saja. Seharusnya kamu senang
dong, kan semalam baru dilamar oleh Yusuf. Dapat surat lagi darinya” Imbuh Mama
melanjutkan. Tiba-tiba aku teringat akan surat dari Yusuf yang isinya sangat
menghancurkan hatiku. Aku termenung sendiri sambil menatap segelas susu putih
kepunyaanku. Andaikan saja hatiku ini bisa seputih susu itu.
”Din! Ada apa sih
kamu?” Tegur Mama padaku. Aku kembali tersadar dari lamunanku.
”Ehm....Pa, Ma,
ada yang mau aku bicarakan” Ucapku tanpa pikir panjang lagi. Hatiku semakin
galau.
”Mau membicarakan
apa?” Tanya Papa.
Kutarik nafasku
dalam-dalam.
”Setelah
semalaman aku berpikir ulang kembali, aku memutuskan untuk.... menolak lamaran
Yusuf”
”Apa?!” Teriak
Papa dan Mama berbarengan.
”Iya Pa, Ma, aku
memutuskan untuk tidak menikah dengan Yusuf” Kataku lagi mempertegas
perkataanku sebelumnya.
“Kamu sudah ngaco
apa? Hari pernikahan dan segala persiapannya itu sudah ditentukan, Dinda. Lagi
pula, kenapa tiba-tiba kamu menolaknya? Bukankah semalam kamu kelihatan
bergembira sekali menerima lamaran Yusuf? Bahkan Yusuf sampai menuliskan surat
cinta untukmu. Lalu apa yang menyebabkanmu sampai berubah pikiran?” Tanya Mama
dengan penuh ketegasan.
Andai
saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti kalianpun akan melakukan hal
yang sama sepertiku. Bahkan aku yakin, Papa dan Mama tidak akan rela melepaskan
aku pada seseorang yang tidak mencintaiku. Tapi aku tidak akan memberitahukan
semua ini pada kalian. Cukup aku saja yang menderita.
”Dinda?” Tegur
Mama.
”Ya Ma? Ehm....”
Sesungguhnya aku
tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Mama. Ya Allah, jawaban apa yang harus
aku berikan pada Mama dan Papa?
”Ehm...A, aku
merasa kurang pantas saja Ma bersanding dengan Yusuf. Aku merasa, lebih baik
dia bersanding dengan wanita lain saja dari pada dengan aku” Jawabku sekenanya.
”Tapi Din, dia
itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk menjadi pendampingnya. Jadi untuk apa
lagi kau menolaknya?” Tanya Papa penuh ketegasan. Aku diam seribu bahasa. Dalam
hati aku menjawab pertanyaannya.
”Yang sebenarnya
memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi orang tuanya. Orang tuanya yang menginginkan
aku jadi menantunya, bukan Yusuf”
Aku
hanya bisa menunduk dan pasrah dalam ketidak berdayaanku. Sejurus do’a
kupanjatkan pada Yang Kuasa agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mama
kembali bersuara.
”Din, usiamu
sudah menginjak 27 tahun. Mau cari yang seperti apa lagi kalau yang seperti
Yusuf saja kamu tolak?” Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku rasa pertanyaan
Mama tak perlu kujawab. Aku hanya menjawabnya dalam hati.
”Aku hanya ingin
mencari suami yang sholeh dan dapat mencintaiku apa adanya, Ma” Ucapku dalam
hati.
Aku
beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa. Mereka hanya bisa memandangiku berjalan
kekamar. Di kamar, kubuka buku harianku dan kutuliskan semua kegundahanku dalam
buku itu dengan air mata berlinang. Tanpa kusadari air mataku itu jatuh
membasahi tulisanku.
Aku
tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi aku kembali ingat, bahwa Allah tidak
akan pernah memberikan suatu cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuan
hambaNya. Dan sampai sekarang aku selalu ingat salah satu ayat itu yang
terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan cobaan itu
padaku, maka aku yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah dalam
bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini adalah sebuah cobaan atas
diriku untuk mencapai tingkat derajat taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar
menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau tidak, maka aku belum bisa
mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu.
Aku
yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya masing-masing. Dan
yang tahu kadar itu hanyalah Allah swt. Bahkan manusia pun belum tentu
mengetahui kadar itu, karena manusia hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau
berpikir kenapa Allah memberikan cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah
meratapi nasib yang sudah ada tanpa mau berusaha untuk mengubahnya. Padahal
kalau diingat-ingat lagi, Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya
bukan, Kenapa Allah memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah
dibalik cobaan yang Allah berikan? Dan tugas seorang manusia itu ialah mencari
hikmah yang terkandung dari semua cobaan yang telah Allah berikan. Itulah sikap
manusia sejati.
Dan
aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia sejati itu. Aku tidak boleh kalah
oleh keadaan. Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus berjalan. Aku
yakin, akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini.
Ya,
saat ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah cobaan untukku. Dan pastinya,
akan ada suatu kebaikan yang terkandung jika aku bersabar dalam mencintainya.
Dan janji Allah itu pasti, Innallaha Ma ’ashshobirin. Allah itu selalu bersama
orang-orang yang sabar. Sabar dalam beribadah, sabar dalam melakukan perbuatan,
sabar dalam mengarungi kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang
tidak mencintai kita. Sabar, sabar, dan sabar. Itulah yang sekarang sedang
berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar, menanti pintu hatinya terbuka
untuk dapat menerima cintaku.
Pukul
sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap pergi liqa ketempat Mbak
Rianti, murabbiku. Hari ini aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus
memikirkan masalahku dengan Yusuf sementara masalahku yang lain masih menunggu
uluran tangan untuk aku selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru
untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa
itu sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya
akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar
gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan
menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak
mencintaiku. Tapi kabar menyedihkan itu tak akan aku sampaikan nanti. Cukup
hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu.
Rabbi,
kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat taqwaMu, Ya Allah......
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)