Tiga
bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air
mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku.
Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur’an, serta
seorang yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku? Aku tak pernah habis
pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam
acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan
puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok
seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat
suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat
kepalanya yang bertuliskan ’Save Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu dengan
penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa. Entah mengapa Allah swt
menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orang-orang itu.
Remuk
redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku
yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika
kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari
kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang
benar-benar Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku
dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri.
Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu
pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang
padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia
pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi
ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf
disana.
Dengan
gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang
bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin
mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul
11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera
saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid
Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan / akhwat yang berpeluh dan berkeringat
tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan
Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri
memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur
berkumandang.
Kuselonjorkan
kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku dan
Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil menunggu
azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli sambari
angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama,
kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum
padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi
terus saja membelai lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah
dengan air mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong
padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus
berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak
ingin bersu’udzan padanya. Tapi.....
Seketika
air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah
berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur bersama
Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia
menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan
shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar. Ketika
waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan
Nadia banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali
tertawa tapi tidak bisa. Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik
pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah
mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa
berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku
hanya menggeleng dan menjawab,
”Nggak. Aku
enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?”
Lalu
Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang
entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang
ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak
habis. Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya.
Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.
Kami
naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan
Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang beratribut
Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang mereka kenakan.
Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina tidak pernah surut untuk
melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah pada
rakyat Palestina.
Ya...memang
masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada masanya.
Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam
wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.
”Kemudian
kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan
dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan
perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai
tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang
bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan
(kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak
akan ditolong”
Dari
jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia
sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha
mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah berpikir
keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama
Alifa ke pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan
menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia
untuk menghampirinya.
”Assalamu’alaikum”
Ucapku padanya.
”Wa’alaikummussalam”
Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.
”Afwan, ana mau
tanya, apa anti temannya Alifa?” Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada
orang yang kumaksud.
”Oh, iya ana
temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?”
”Iya. Ehm, ana
mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau
mungkin dia pergi dengan suaminya ya?”
Wajah ukhti yang
ada dihadapanku terlihat muram.
”Ada apa ya Rin?”
Tanyaku langsung padanya.
”Ehm...keadaan
Alifa sekarang tidak begitu baik” Jawabnya dengan nada sedih.
”Memang dia
kenapa?”
Ririn mulai
menjelaskan.
”Seminggu setelah
pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang
dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang
bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur....” Ririn memutus perkataannya.
Aku hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus
beristighfar.
”Lalu keadaan Alifa
sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.
”Keadaan terakhir
yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa
menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah. Dia tidak
mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan kematian
suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah
sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn.
Aku
diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn
memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak
dari tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan
padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah
yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.
* * *
Tanpa
terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan Nadia
menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di
sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak bahwa kami
habis melakukan aksi munaoroh Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan
orang-orang lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan
merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.
Biasanya
sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku
untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa
tiba-tiba semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang
tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring
tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa
bangkit merajut hari-hari barunya.
Menuju
stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya
dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat
kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk
itu. Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian
datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara
menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun
tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya terdapat
sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh
penumpang kereta.
Dia
menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan
uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang
seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri
saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan
kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran
melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas menanyakan
perihal tersebut padaku.
”Kamu
memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya dengan memanggilku dengan sebutan
’Nda’. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari
namaku, ’Nda’.
”Apa menurutmu,
uang lima ribu rupiah itu besar?” Tanyaku balik padanya.
Nadia mengangguk.
”Menurutku itu
terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?”
”Ada.
Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan
semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai
ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih
berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja
keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini
pada orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan
hanya mengemis, tapi juga secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan
membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia.
Nadia mengangguk
lagi.
Sesaat
lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela kereta
yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak
penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta
menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini
mendapat tempat duduk. Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian
rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka.
Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu
masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan
kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi
oleh pandanganku.
Beberapa
menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan
hebat yang dilayangkan oleh seorang laki-laki.
”Hei! Perempuan
tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu.
Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan sapu
bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!”
Bentak salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit
dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada
seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.
Ternyata
yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang
penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang
tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu
tua yang tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis
sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang
menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya. Orang yang berpakaian rapi
yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu. Aku harap dia bisa
menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu.
Tapi
ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang yang satunya lagi malah
ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
”Hei! Pergi kau
dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar
perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!” Ucapnya dengan
nada yang lebih tinggi dari orang yang sebelumnya.
Semua
penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang
laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega
melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa?
Semua orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah
keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di
musnahkan.
Setelah
kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya
aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.
”Cukup-cukup!!”
Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana
sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin
aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat kemungkaran
dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada
saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.
”Tidak
sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu.
Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas
kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut
keluar dari mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya
karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu
ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian
merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa
benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan
kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.
”Apa maksud
perkataanmu hei?” Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang mengenakan
kemeja berwarna biru tua.
”Apa kurang jelas
apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar melakukan hal itu, maka
kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina seorang ibu
yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena
dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga
diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?”
”Hei! Tutup
mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?” Kali ini
laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.
”Apakah kalian
tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian
melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana
hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang
kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu
kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah
padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!”
Dua
lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus
saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena
pakaian yang dikenakannya sangat kotor.
”Apa yang
dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang
sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai
seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina
seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan? Coba
kalian pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan
hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu
menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk
mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya
karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu
diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita nyaman
berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah cacian dan
hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak
bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”
Itulah
ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung
sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua
orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.
”Saya yakin
kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang berlambangkan
Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?”
”Hei, jangan
bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut
lelaki berkemeja merah marun.
”Kalau kalian
merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai saudara
kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman seseorang dari
kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri14. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga
bisa mencintai saudara kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa
merasakan manisnya kesempurnaan iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau
memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?”
”Apa maksudmu
dengan kebohongan dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua
yang bertanya.
”Allah berfirman
dalam Qur’anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata15. Saya harap, kalian bisa memahami ayat itu.
Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok
kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari
pada mereka yang mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.
”Saya hanya ingin
mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah
perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Coba
sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau
semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi
ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya
karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan
kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan
pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari
uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu.
Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar
yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda, Orang-orang
yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud
manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke
sebuah penjara dalam neraka Jahanam. Mereka ditutupi oleh api paling panas dan
diberi minuman dari nanah penduduk neraka.
”Jadi sekali lagi
saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan
kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam
bayang-bayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong.
Saya melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan
dihina. Sepatutnyalah kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah
yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan
kita akan banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan
sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan
rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa.
Itulah muslim sejati”
Dua
lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali
kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka
mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah
mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang kini ada
disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus
ribuan.
Ibu
tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima
kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi
dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah
mereka yang mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.
* * *
Tepat
di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada Nadia.
Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut
dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku mengucapkan
kata-kata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua
lelaki itu bisa mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa
sampai saat ini hatiku masih berdegup kencang.
Di
stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan
tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang
yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak
yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun
Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku
pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di
sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.
Dirumah
kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua
kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas,
pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini
tengah dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal, juga kejadian di
kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.
Setelah
istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku
menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas
Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah
dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab
pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.
Kulihat
jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu
PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan
Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah
sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa
padanya.
Kucurahkan
semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku.
Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang.
Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang
baru aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah
mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya
jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di
dalam buku harianku.
Kurasa
mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang.
Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia
sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf
membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku
masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya
kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
Aku
kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku
memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu
Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan
mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak
bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang
bengkak lalu dia menanyakan alasannya.
Kumantapkan
hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini.
Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar bagaimana
pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami. Meskipun
hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri.
Aku tak sanggup melihat wajahmu.
Di
luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam
pejam malamku aku berdo’a,
”Ya Allah, ampuni
segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa
tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Amin”
* * *
Sisa-sisa
hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan masih
terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang
banjir. Aku lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan di
Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini
adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah.
Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan kembali duduk di depan komputer untuk
meneruskan tulisanku.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton
televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu
kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar
berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak
tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi
pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas
membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku
setelah shalat dhuha nanti.
Hujan
belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku
masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di
ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku
shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan
komputerku.
Aku
mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada
telepon dari pihak penerbit.
Aku
keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak
penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan
segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa
syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang belum
juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.
Aku
kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah
meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan
layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan
tubuhnya dan bertanya padaku.
”Ada apa dari
pihak penerbit menelepon?”
”Memberi tahu
kalau novelku yang ketiga akan segera di proses” Jawabku singkat tanpa
memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan
susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah
bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar
untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan padanya.
”Nih Mas. Susu
hangat untuk menghangatkan tubuh” Kataku sambil menyodorkan segelas susu
padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih duduk
di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia
juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali
tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku
untuk tetap duduk.
Aku
tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu
mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan? Dia berjalan
ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku bercinta. Yang aku ingat,
terakhir kami memadu kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar.
Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya.
Di
tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana,
komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti kenapa Mas Yusuf
mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga.
Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah
berbohong padaku. Entahlah.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)