Selesai
akad dan walimatul ursy, Yusuf membawaku ke Hotel Maharani yang terletak di
kawasan Mampang Prapatan. Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf
memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan
harum. Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa
menatapi keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.
Aku
tak tahu kenapa Yusuf membawaku ke hotel ini. Sebelum masuk ke kamar, Mama,
Papa, dan orang tua Yusuf ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup,
merekapun pulang. Tinggal aku dan Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa
juga bingung. Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian biasa
yang sudah disiapkan dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi, berganti
pakaian, dan mengambil air wudhu. Tak lupa aku mengajak Yusuf untuk shalat
sunnah dua rakaat. Diapun menuruti.
Tak
lama shalat sunnah, azan maghrib berkumandang. Segera saja Yusuf berpamitan
padaku untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku
mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk membacakan do’a yang
pernah Rasulullah ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium keningku dan
membacakan do’a yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus
kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih padanya.
Setelah itu dia melangkah keluar dan hilang dari pandanganku.
Aku
langsung menunaikan kewajiban shalat Maghribku di kamar sambil menunggu Yusuf
pulang dari masjid. Aku masih merasakan kehampaan disini.
* * *
Pukul
delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba kembali dikamar. Aku yang
selepas shalat Isya lalu tilawah sebentar, segera bergegas untuk tidur. Tak ada
pembicaraan yang berarti antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur
dan mengambilkan segelas susu putih untuknya. Dia menerimanya dengan ekspresi
biasa-biasa saja lalu mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih
mengenakan jilbabku. Aku masih belum bisa tampil apa adanya di hadapannya.
Aku
kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku membelakangi
Yusuf yang tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh
diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu. Tiba-tiba
Yusuf bersuara dan memulai pembicaraan.
”Maafkan aku ya
Din?” Ucapnya pelan.
Aku masih
terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak menjawabnya dan hanya diam sambil
mendengarkan dia kembali bersuara.
”Aku memang
seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk menghadapi semua
kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang tuaku,
membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan terlebih lagi, aku harus
menyakiti Allah karena telah melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang
tak berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam
bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut”
Aku
dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan
aku rasakan kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya.
”Maaf, jika
karena diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku ini.
Mungkin kamu tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku selalu
berharap, kelak kaupun bisa menemukan kebahagiaanmu itu” Ucap Yusuf lagi pelan.
”Bagaimana
mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang aku cintai tidak bahagia” Ucapku
menyahuti perkataan Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.
”Aku memang
memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki cintamu. Aku memang bukan siapa-siapa
dihatimu, tapi aku berharap....kau tidak lagi memikirkan Alifa” Sambungku
sekenanya.
”Alifa?!” Tanya
Yusuf kaget.
”Dari mana kau
tahu tentang Alifa?”
Aku bangkit dari
tidurku dan kuhadapkan wajahku padanya. Wajah yang penuh kecemburuan pada
seorang wanita yang bernama Alifa.
”Kau tidak perlu
tahu darimana aku tahu tentang Alifa, yang terpenting, aku hanya minta satu
darimu, tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang sah. Dan
seperti seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau masih saja terus
memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku hanya ingin membantumu
untuk tidak menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun mengerti akan
hal ini” Jelasku sambil menatap kedua matanya yang jeli.
Kembali
aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan membelakanginya. Kutarik selimut
untuk menutupi tubuhku dan kumatikan lampu yang ada diatas meja kecil disamping
tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku sebisanya. Dalam hati kecilku, aku
masih berharap Yusuf mau menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri.
Biar bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada umumnya, menginginkan
kebahagiaan atas dirinya di malam pertama pernikahannya. Melakukan ibadah
bersama sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu kasih dengan
kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang tengah
dimabuk cinta dan berharap pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan
generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini.
Tapi
semua harapanku seolah sirna ketika Yusuf lebih memilih untuk tidur
membelakangiku dan mematikan lampu yang ada disebelahnya. Keadaan kamar saat
itu gelap seketika. Aku tak bisa merasakan apapun kecuali sakit yang tiba-tiba
saja menyusup dalam dada. Aku ingin menjerit, aku ingin berteriak, tapi aku
kembali sadar, bahwa ini hanya sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku
yakin, akan ada berlimpah-limpah hikmah yang akan aku dapat jika aku bersabar
karenanya.
Rabbi, kuatkanlah
aku malam ini........
* * *
Waktu
seolah lamban sekali berputar. Malam ini, aku benar-benar tidak bisa tidur.
Entah dengan Yusuf. Berkali-kali aku merasakan tempat tidur yang kami tiduri
bergoyang karena Yusuf sering sekali membalik-balikkan tubuhnya. Sedangkan aku
masih dengan posisiku yang semula. Aku merasakan pegal yang teramat sangat di
bagian pinggangku karena semalaman aku tidur dengan posisi miring
membelakanginya.
Kuraih
ponselku yang tergeletak diatas meja kecil dekat lampu. Kunyalakan. Ternyata
baru pukul setengah tiga pagi. Sudah bosan rasanya aku dengan keadaan seperti
ini. Ingin berbuat sesuatu, tapi apa? Tiba-tiba aku merasakan Yusuf bangkit
dari tempat tidur. Entah dia berjalan kemana. Aku enggan menolehkan kepalaku
untuk melihat sedang apa dia sekarang.
Sejurus kemudian
aku mendengar dia bersuara.
”Din, aku mau ke
masjid. Mau shalat tahajud lalu menunggu hingga subuh datang” Ucapnya padaku.
Aku dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Aku bingung harus
berbuat apa. Seketika saja aku bangkit dari tidurku dan berlari mengejarnya.
Aku berdiri di depan pintu untuk menghadangnya keluar. Segera saja aku kunci
pintu. Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.
”Kau tidak boleh
kemana-mana!” Ucapku tegas. Aku menatapnya dengan tajam. Kulihat pandangannya
seolah bertanya-tanya akan sikapku. Sedangkan aku masih berdiri di depan pintu
sambil mengatur nafasku.
”Kenapa aku tidak
boleh? Aku hanya ingin pergi ke masjid untuk shalat tahajud dan menunggu hingga
subuh datang. Aku hanya ingin shalat” Ucap Yusuf seolah mempertegas
pernyataannya yang pertama tadi.
”Kau tidak boleh
kemana-mana sebelum kau melakukan tugasmu sebagai seorang suami!” Kataku sambil
diiringi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Aku yakin tatapanku begitu
meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun. Tapi raut wajahnya begitu
memperlihatkan kebertanya-tanyaannya. Aku kembali berucap.
”Subuh masih dua
jam lagi dan kau masih punya waktu untuk menunaikan tugasmu sebagai seorang
suami yang bukan seorang pengecut!”
Matanya
tidak berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat hampa. Bibirnya bergerak
sedikit tapi tidak mengucapkan apapun. Aku terus saja menatap wajahnya.
Tiba-tiba mataku basah dan sejurus kemudian aku menangis sejadi-jadinya. Aku
menangis karena memikirkan tindakan dan perkataanku barusan padanya. Aku
tersadar. Mana mungkin Yusuf mau memenuhi permintaanku sedangkan rasa cinta
untukkupun dia tidak punya. Yusuf memandangiku yang sedang menangis. Tak
sedikitpun dia berpikir untuk menghampiriku untuk sekedar menghapus air mataku.
Ditengah tangisku
aku berucap,
”Mungkin
aku egois karena tidak memimikirkn perasaanmu, dan mungkin aku egois karena
seakan-akan aku memaksakan cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya, apakah pernah
kau memikirkan perasaanku ketika pertama kali aku tahu kalau kau tidak
mencintaiku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika surat darimu yang
aku kira surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu menyakitkan
untukku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika kau menyebutkan ada
’nama lain’ di hatimu dan itu bukan aku? Apakah pernah kau memikirkan
perasaanku ketika di malam-malam menjelang hari pernikahanku, bukan kebahagiaan
yang aku rasakan melainkan kesedihan demi kesedihan yang terus menyayat hatiku?
Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu, ketika kau melihat air mataku jatuh di
malam pertama pernikahanku? Apakah pernah kau memikirkannya??!” Tanyaku sambil
terus menangis.
Aku
tertunduk lemas didepan pintu kamar sambil sesenggukkan. Berkali-kali aku hapus
air mataku tapi air mata itu keluar begitu saja seiring dengan hatiku yang
semakin sakit akan sikap Yusuf yang biasa-biasa saja terhadapku. Sesaat lamanya
aku menangis dan Yusuf juga hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berbuat
apapun. Aku semakin gemas dibuatnya. Dia memang laki-laki yang pengecut. Untuk
hal ini saja dia tidak bisa mengambil keputusan.
Akhirnya
aku putuskan untuk membiarkannya pergi. Aku buka pintu dan kupersilahkan dia
untuk pergi. Kemana saja yang dia mau tanpa harus memikirkan diriku.
”Pergilah!”
Ucapku tanpa memandang wajahnya.
”Pergilah
kemanapun kau suka. Pergilah ketempat yang bisa membuatmu tenang. Pergilah agar
kau tidak selalu melihat diriku. Pergilah tanpa kau harus memikirkan diriku
disini. Aku tidak akan memaksamu. Pergilah!!” Perintahku dengan suara agak
serak.
Lagi-lagi
kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku. Segera saja kuhapus. Sesaat
kemudian aku mendengar dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku. Tiba-tiba
dia memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air mataku semakin
deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku berucap,
”Pergilah! Aku
sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Pergilah! Jangan biarkan hatimu
tersakiti oleh perbuatan yang sebenarnya tidak ingin kau lakukan. Pergilah!
Pergilah!” Ucapku sambil terus menangis. Yusuf semakin erat memelukku.
Sejujurnya, aku merasakan kehangatan berada dalam pelukannya.
Tiba-tiba
Yusuf menutup pintu kamar dan menguncinya. Tanpa berucap sepatah katapun dia mengajakku
ke tempat tidur. Kududukkan tubuhku di pinggirannya dan diapun duduk di
hadapanku. Tangannya menghapus air mataku. Dia menatapku dan berucap,
”Subuh masih dua
jam lagi dan aku masih punya waktu untuk menunaikan tugasku sebagai seorang
suami. Dan akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut”.
Aku mengerti apa
yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas
jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan perlahan tangannya
menyentuh kancing-kancing bajuku.
Dia
merebahkan tubuhku. Dan dalam kegelapan malam, aku dan Yusuf melakukan ibadah
itu bersama. Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun aku
tahu, tak ada cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam ini aku
benar-benar menjadi seorang istri. Aku selalu berharap, Allah masih bersedia
memberikan sedikit pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.
Ya
Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)