Detik
berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, dan
minggu berganti minggu. Tak terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai
seorang istri. Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang
belum bisa menerimaku sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah
sedikitpun aku lihat sebuah kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada
tatapan mesra penuh kehangatan yang dia berikan padaku ketika dia pulang dari
kerjanya ataupun ketika aku pulang dari kewajibanku bekerja di sebuah
perusahaan majalah Islam. Karena hal ini juga, novel ketigaku yang harusnya
sudah rampung beberapa bulan yang lalu, kini harus rela tertunda karena masalah
hatiku.
Suasana
di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan
kemesraan seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui
Arini dan Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar
cerita Arini tentang Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra
sekali pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya.
Andai
saja Arini tahu apa yang aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin
Arinipun akan menangis dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali
menangis bila melihat atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat
ini dia tengah mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku
hanya bisa tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya
selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia
menanyaiku kapan aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
”Do’akan saja ya
Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku dan
suami”
”Amin”, Sahut
Arini mengamini.
Mengingat
hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di hotel Maharani
lima bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami
baru melakukannya lima kali. Ya, bisa diperhitungkan dalam sebulan itu hanya
sekali kami melakukannya. Maka tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk
makan sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum. Hal itu sengaja aku
lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak tersalurkan.
Terkadang
pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat tahajud dan
sedikit bermunajat pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa
menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima
keadaan suamiku, dan tak lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar
berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama
aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku
menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku
hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam
kehidupanku.
Ditengah
munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna
mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat
witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah
sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana.
Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang
harapan-harapanku di masa depan.
Terkadang ayah dan
ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku
hanya menjawab, ”Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak
melakukan ibadah-ibadah sunnah”
Biasanya
ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk pelan.
Aku
juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh
curiga padaku. Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu
artinya semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka
berpikiran yang baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering
aku lakukan ketika aku masih tinggal di rumah mereka.
Tapi kini, hal
itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf
memutuskan untuk mengontrak rumah di daerah Lenteng Agung. Tak besar memang,
tapi aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat
tidur, lemari pakaian, komputer, bufet, televisi, kursi, dan meja, semuanya
telah tertata dengan rapi dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu
mertuaku turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar mengira kalau
kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia, sampai-sampai kami memilih untuk
mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta
do’a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan
kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
* * *
Malam
ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku sendiri tak tahu apa yang
sedari tadi dikerjakannya. Selepas Maghrib tadi dia sudah mulai duduk di depan
laptop sambil mengetik beberapa tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa lembar
kertas berserakan di meja dan itu membuatnya tampak sangat sibuk. Sepertinya
tak ada jeda untuk dia melakukan aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya
tatkala azan Isya berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami. Masjid Al
Mustofa namanya. Kali ini dia memilih untuk shalat Isya dirumah ketimbang di
masjid. Alasannya kalau di masjid, selesai shalat tidak bisa langsung pulang
karena bapak-bapak disana sering mengajaknya berbincang-bincang terlebih
dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini dia harus ekstra lembur karena
banyak sekali ketikan yang yang harus diselesaikan.
Selesai
shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di ruang tamu. Aku
mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas
wedang jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia harus lembur.
”Ngetik apa sih
Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk sekali?” Tanyaku sambil memanggilnya
dengan sebutan ’Mas’. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku
memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya
seperti itu.
Mendengar
pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya tak tampak seguratpun
senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan
pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah
kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari
laptop.
”Ngetik soal buat
UTS besok” Jawabnya singkat.
”Memang sebanyak
itu?” Tanyaku lagi.
Dia
hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak pergi dari hadapannya.
”Jangan tidur
terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit malah tidak bisa ngajar. Wedang
jahenya jangan lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur duluan ya?”
Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi dia
hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan padanya. Ketika aku hendak
membuka pintu kamar, dia bersuara.
”Terima kasih ya?
Dinda” Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun menoleh padanya dan
memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan kembali lagi mengetik. Aku
masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa mendengar dia
memanggil namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang untukku.
Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma menjadi panggilan, ’Dindaku sayang’.
Ah,
andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan
kehidupan baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku
sudah sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
”Terima kasih ya?
Dinda” Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku memejamkan mata.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)