- Pendahuluan
Pengaruh
dominan filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak
terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara
diplomasi Alkindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam
dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran
kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristoteles dipandang
sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan
alam dan lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul
sebagai penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”.
Ibnu
Rusyd memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir,
ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam buku Divine
Comedy, Dante (1265-1321M) memberi sebuah gelar pada Ibnu Rusyd sebagai comentator (
pengulas karya-karya Aristoteles). Gelar ini memang tepat untuknya, karena
pikiran-pikirannya mencerminkan usaha yang keras untuk mengembalikan
pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya, setelah bercampur dengan
unsur-unsur platonik yang cukup memperburuk orisinalitas pemikirannya dan
dimasukkan para filsuf Iskandariyah. Pada diri Ibnu Rusyd, dunia Islam mencapai
titik tertinggi dalam memahami filasat Aristoteles.[1]
Dominasi
pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan
tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya
kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap
pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya
filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat
Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar
filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para
filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat
dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan
ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif
keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk
memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama
seseorang. Karena itu penulis akan megangkat dalam makalah ini dengan tema
sentralnya Ibnu Rusyd, filosof muslim
aristotelian.
- Pembahasan
- Biografi Ibnu Rusyd
Nama
lengkapnya adalah Muhammad ibnu Ahmad bin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd atau
Abu Al-Walid atau Averroes lahir di Cordova, 520 H /
1126M. Ia berasal dari keluarga ilmuan, ayahnya dan kakeknya adalah para
pencinta ilmu dan merupakan ulama yang sangat disegani di Spanyol. Ayahnya
adalah Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) adalah seorang fqih (ahli hukum
islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad
Ibn Ahmad (wafat 520 H-1126 M) adalah ahli fiqh madzhab Maliki dan imam
mesjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol, ia
sendiri pada tahun 565H/ 1169M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan
Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173M,
ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al Qudhat di
Cordova.[2]
Pendidikan awalnya dimulai
dari belajar Al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Selanjutnya ia
belajar dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu
Kalam, bahasa Arab dan Sastra. Dalam ilmu fiqih ia belajar dan menguasai kitab Al-Muwaththa’
karya Imam Malik.
Selain
kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu Muhammad Ibn Rizq
dalam disiplin ilmu perbandingan hukum islam (fiqh ikhtilaf) dan kepada Ibn
Basykual dibidang hadits. Dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat ia
belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli (berasal dari Trujillo).
Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zhuhr.
Pada tahun 548 H/1153 M, Ibnu
Rusyd pindah ke Maroko memenuhi permintaan Khalifah Abdul Mu'min,
khalifah pertama dari dinasti Muwahhidin. Khalifah ini banyak membangun sekolah
dan lembaga ilmu pengetahuan, dan meminta Ibnu Rusyd untuk membantunya
dalam mengelola lembaga tersebut. Setelah ia meniggal, anaknya, Abu Ya'qub Yusuf
Ibn Abdul Mu'min ibn Ali al Qaisi al Kumi (1163-1184
M) menggantinya sebagai khalifah pada tahun 1663M,
dan memakai gelar Amirul Mu'minin. Khalifah ini mempunyai pengetahuan yang
luas, mencintai ilmu dan ulama'. Ia memadukan dua hal, yakni mendalami agama,
mempunyai sifat wara' dan taqwa pada satu sisi, dan pada segi lainnya
keinginannya yang kuat untuk mempelajari filsafat. Ia menghimpun buku-buku dari
berbagai wilayah di Andalusia dan Maghrib, mengundang ulama' dan khususnya
pakar dalam ilmu nalar. Sehingga banyak pakar yang datang kepadanya dalam
jumlah yang tidak pernah terjadi pada penguasa-penguasa sebelumnya.[3]
Hal itu dilakukan oleh Abu
Ya'qub dengan cara mendekati para cendekiawan, dan yang paling besar
pengaruhnya adalah Ibnu Thufail (w. 581 H/1185 M).[4]
Sampai-sampai ia diperintahkan untuk tinggal di dalam istana. Dan di antara cendekiawan yang diperkenalkan Ibnu
Thufail kepada khalifah adalah Ibnu Rusyd.
Pertemuan pertama antara Ibn
Rusyd dengan Khalifah terjadi proses tanya jawab diantara keduanya tentang
asal-usul dan latar belakang Ibnu Rusyd, Abu Ya'qub pun
menuji-mujinya, menyebut keluarga serta leluhurnya.[5]
Selain itu mereka juga membahas tentang berbagai persoalan filsafat. Ibnu
Rusyd menyangka bahwa petanyaan ini merupakan jebakan khalifah, karena
persoalan ini sangat krusial dan sensitif ketika itu.
Ternyata
dugaan itu meleset. Khalifah yang pencinta ilmu ini malah berdiskusi dengan Ibnu
Thufail tentang masalah-masalah di atas. Khalifah Abu Ya’qub dengan
fasih dan lancar menjelasan persoalan-persoalan itu dan mengutip pendapat-pendapat
seperti Plato dan Aristoteles. Khalifah dan Ibnu Thufail, sama-sama terlibat
dalam diskusi yang berat. Terlihat bahwa khalifah yang memang pencinta ilmu
pengetahuan ini sangat menguasai persoalan ilmu filsafat pendapat-pendapat
mutakallimin atau teolog Plato dan Aristoteles. Ibnu Rusyd
kagum pada pengetahuan khalifah tentang filsafat. Karenanya ia pun berani
menyatakan pendapatnya sendiri.
Pertemuan
pertama ini ternyata membawa berkah bagi Ibnu Rusyd. Ia diperintahkan
oleh khalifah untuk menterjemahkan karya-karya Aristoteles. Maka
mulailah Ibnu Rusyd menuliskan ulasan-ulasan atas buku-buku Aristoteles. Untuk
itu ia layak disebut sebagai " juru ulas ".[6]
Pertemuan itu pun mengantarkan Ibnu Rusyd untuk menjadi qodhi di Seville
setelah dua tahun mengabdi ia pun diangkat menjadi hakim agung di Cordova,
selain itu pada tahun 1182M ia kembali ke istana Muwahidun di Marakhes
menjadi dokter pribadi khalifah pengganti Ibnu Thufail.[7]
Pada tahun
1184M khalifah Abu Yakub Yusuf meninggal dunia dan digantikan oleh
putranya Abu Yusuf Ibnu Ya’kub Al-Mansur. Pada awal pemerintahannya
khalifah ini menghormati Ibnu Rusyd sebagaimana perlakuan ayahnya, namun
pada 1195M mulai terjadi kasak-kusuk dikalangan tokoh agama, mereka mulai
menyerang filsafat dan para filosof. Inilah awal kehidupan pahit bagi Ibnu
Rusyd. Ia harus berhadapan oleh pemuka agama yang memiliki pandangan sempit
dan punya kepentingan serta ambisi-ambisi tertentu. Dengan segala cara mereka
pun memfitnah Ibnu Rusyd. Akhirnya Ibnu Rusyd diusir dari istana
dan dipecat dari semua jabatnnya. Pada tahun 1195M ia diasingkan ke Lausanne,
sebuah perkampungan yahudi yang terletak sekitar 50 km di sebela selatan
cordova. Buku-bukunya dibakar di depan umum, kecuali yang berkaitan dengan
bidang kedokteran, matematika serta astronomi yang tidak dibakar. Selain Ibn
Rusyd, terdapat juga beberapa tokoh fuqaha’ dan sastrawan lainnya yang
mengalami nasib yang sama, yakni Abu ‘Abd Allah ibn Ibrahim (hakim di
afrika), Abu Ja’far al-Dzahabi, Abu Rabi’ al-Khalif dan Nafish Abu al-‘Abbas.
Penindasan
dan hukuman terhadap Ibn Rusyd ini bermula karena Khalifah al-Mansyur
ringin mengambil hati para tokoh agama yang biasanya memiliki hubungan
emosional dengan masyarakat awam. Khalifah melakukan hal ini karena didesak
oleh keperluan untuk memobilisasi rakyatnya menghadapi pemberontakan
orang-orang Kristen Spanyol. Disamping itu, hal yang cukup menarik, sikap anti
kaum muslim Spanyol terhadap filsafat dan para filosof lebih keras daripada
kaum muslim Maghribi atau Arab. Ini digunakan oleh pimpinan-pimpinan agama
untuk memanas-manasi sikap anti terhadap filsafat dan cemburu kepada filosof.
Setelah
pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah
menunjukkan sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada
pemikiran kreatif Ibn Rusyd, sutau sikap yamg sebenarnya ia warisi dari
ayahnya. Khalifah al-Mansyur merehabilitasi Ibn Rusyd dan memanggilnya kembali
ke istana. Ibn Rusyd kembali mendapat perlakuan hormat.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami
Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif
dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca,
menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Menurut Ibnu al Abrar, selama masa
hidupnya, hanya ada dua malam yang tidak digunakan untuk belajar yaitu malam
meninggalnya ayahnya dan malam perkawinannya.[8]
Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang
inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al
'Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan
eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.[9]
Dunia Barat menyebutnya
dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas
untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose
Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan
seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi
Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka
melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya
menjadi Averrois.[10]
Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang
filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang
membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang
filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling
tepat dan tidak ada tandingannya.
Itu tidak berarti Ibnu
Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani,
pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya
sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentar
terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut
terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles
sendiri.[11]
Tidak lama setelah Khalifah
mencabut hukumannya dan merehabilitasi posisinya, pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1198 M, Ibn Rusyd meninngal
dunia di kota Marakesh dalam usia 72 tahun. Setelah tiga bulan berlalu,
jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya Cordova untuk dikebumikan
di perkuburan keluarganya.[12]
- Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd
Filsafat Ibn Rusyd sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles karena ia sering menghabiskan waktunya
untuk membuat komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles dalam berbagai
bidang. Menurut Ibn Rusyd, Aristoteles adalah manusia istimewa dan pemikir
terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur dengan
kesalahan. Ibn Rusyd berkeyakinan jika filsafat Aristoteles dipahami
sebaik-baiknya, pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang
mampu dicapai oleh manusia. Kekaguman Ibn Rusyd terhadap Aristoteles sangat
tinggi ia menilai seolah-olah ilham Tuhan menghendaki agar Aristoteles menjadi
teladan otak bagi manusia yang tertinggi dan adanya kesanggupan untuk mencapai
akal universal.
Ibn Rusyd sebagai filsuf
besar juga memikir, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang pernah
dipikirkan oleh filsuf-filsuf terdahulu, ia tidak begitu saja menerima
pemikiran-pemikiran mereka, tetapi menerima yang setuju dan menolak yang
sebaliknya,
tergantung masalahnya.
- Harmonisasi Agama dan Filsafat
Masalah agama dan falsafah atau
wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil
pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh
sebagian sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi Al-Ghazali
terhadap pemikiran mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang
diantaranya dapat digolongkan sebagai pemikiran sesat dan kufur.
Terhadap reaksi dan sanggahan
tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran mereka serta membenarkan
kesesuain ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan
imam Ghazali dengan argumen-argumen yang tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya.
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara
agama (Islam) dan filsafat tidak ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain
dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada ini. Ia mendasarkan argumennya (Istidlal)
dengan dalil al Qur'an, [13]
di antaranya :
أَوَلَمْ
يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ
شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ
يُؤْمِنُونَ
Artinya
: “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar) tentang kerajaan langit dan
bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya waktu (kebinasaan)
mereka? Lalu berita mana lagi setelah ini yang akan mereka percaya?” (Al-A’raf: 185)
Juga firman Allah QS. Al-Hasyr : 2
Artinya: “Hendaklah kamu
mengambil I'tibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”.
Bernalar dan
ber’itibar dalam dua ayat ini hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan kias
akali (Syllogisme), karena yang dimaksud dengan I’tibar itu tidak
lain dari mengambil sesuatu yang belum diketahui dari apa yang telah diketahui
(istinbath al majhul min al ma'lum).[14]
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa al Qur'an menyuruh umat manusia untuk
mempelajari filsafat (wujub al 'aql) [15] dan Qiyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak
dapat dielakkan. Bernalar dengan kaidah yang benar
akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak
saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.
Seperangkat ajaran yang disebut
dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan
filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam
hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil [16]
yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.
Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang
harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang
harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.
Adapun jika keterangan lahiriahnya
sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika
tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang
dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan
ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka,[17]
yakni orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan (al
Rasikhuna fi al 'Ilm). Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada
orang-orang yang sudah yakin (Ahl al Burhan), tidak kepada selain mereka
yang ampang menjadi kufur.
Agama islam kata Ibn Rusyd tidak
mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran
trinitas dalam agama Kristen.[18]
Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui segala yang
ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang tidak
bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.
Akan tetapi, dalam agama ada
ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad,
sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat
diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambang
atau simbol bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam
al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam
hal-hal yang tidak mampu dipahami oleh akal.
Sejauh ini agama sejalan dengan
filsafat. Tujuan dan tindakan filsafat sama dengan tujuan san tindakan agama.
Yang ada dalah masalah keselarasan keduanya dalam metode dan permasalahan
materi. Jika yang tradisional itu (al manqul) ternyata bertentangan dengan yang
rasional (al ma'qul) , maka yang tradisional itu ditafsirkan sedemikian rupa
selaras dengan yang rasional.[19]
Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa
filsafat ialah saudra kembar agama. Keduanya merupakan sahabat yang pada
dasarnya saling mencintai.[20]
- Metafisika
a. Dalil
wujud Allah
Dalam membuktikan adanya Allah,
Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dikemukakan oleh beberapa golongan
sebelumnya[21]
karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam
berbagai ayatnya.
Menurut
Al-Ghozali para filosof muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang
parsial di alam, padahal firman Allah dalam QS Yunus : 61
وَمَا يَعزُبُ عن ربِّكَ مِنْ مثقال ذرةٍ في
الأرضِ ولا في السَّمَاءِ ولاَ أصغرَ مِنْ ذلِكَ ولاَ أكبرَ إلا في كتابٍ مبينٍ
Artinya
: "Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar Dzarrah (atom)
dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih
besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang nyata"
Dalam
menjawab tuduhan ini Ibn Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham, sebab
tidak ada para filosof muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan
para filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial dialam ini
tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni
sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun
kecilnya, sedang pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan
Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.[22]
Demikian juga menurut Ibn Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i
( parsial) dan kullli ( umum), Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk
materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indera. Kulli mencakup
berbagai jenis (nau’). Kulli bersifat abstrak, yang hanya dapat
diketahui melalui akal. Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada
dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena
itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu
Allah bersifat juz’i dan kulli.[23]
Karena itu Ibn Rusyd mengemukakan
tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, yang
mana tidak saja sesuai bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang
terpelajar (filsuf). [24]
1. Dalil
‘inayah (pemeliharan)
Dalil ini berpijak pada tujuan
segala sesuatu dalam kaitan dengan manusia. Artinya segala yang ada ini
dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai
dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara
kebetulan, tetapi memang sengaja diciptakan demikian oleh sang pencipta. [25]
2. Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena
ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan
berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita
mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya, sehingga yakin adanya
Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa
tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin
mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala
sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas
ini.
3. Dalil
Gerak.
Dalil ini berasal dari Aristoteles
dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah
seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa
gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan
semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir
pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak
bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya.
Akan tetapi, Ibn Rusyd juga
berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
b. Sifat-sifat
Allah
Persoalan sifat Tuhan merupakan
salah satu persoalan penting yang berkembang melalui para mutakallimin di
tengah-tengah masyarakat Islam. Pada mulanya hal itu dimaksudkan untuk menahan
unsuur-unsur asing yang muncul dari ayat-ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat
yang memungkinkan adanya penyerupaan antara hamba dan Tuhan.[26]
Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang
sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk
mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua
cara: tasybih dan tanzih[27]
(penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah
dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
Menurut Ibnu Rusyd ada dua hal
yang harus dihilangkan dari pengumpamaan antara kita dan Allah : [28]
1)
Bahwa pada Khaliq tidak
terdapat sebagian besar sifat-sifat makhluq
2)
Bahwa padaNya terdapat
sifat-sifat makhluk pada dimensi yang paling sempurna dan paling utama
(absolut) yang tidak tercapai oleh akal.
- Fisika
a. Materi dan forma
Seperti dalam halnya metafisika,
ibnu rusyd juga di juga di pengaruhi oleh Aristoteles dalam fisika. Dalam teori
Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (al maujud) yang mengalami
perubahan seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika adalah materi
dan forma.
Menurut Ibn Rusyd, bahwa segala
sesuatu yang berada di bawah alam falak terdiri atas materi dan forma. Materi
adalah sesuatu yang darinya ia ada, sedangkan forma adalah sesuatu yang
dengannya ia menjadi ada setelah tidak ada.
b. Sifat-sifat jisim.
Adapun
sifat-sifat jisim ada empat macam, yaitu:
- Gerak
- Diam
- Zaman
- Ruang
c. Bangunan alam.
Para filosof klasik mengatakan,
bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga gerak melingkar
merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi azali. Dengan
sebab gerak ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar. Karena
jisim-jisim ini bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu
planit yang bergerak melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga tidak
ada kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri dari
jisim-jisim samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari
percampuran emoat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah
benda-benda padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.[29]
- Manusia
Dalam masalah manusia, Ibn Rusyd
juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi bagian dari alam, manusia
terdiri dari dua unsur : materi dan forma. jasad adalah materi dan jiwa adalah
forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai
“kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis”. Jiwa disebut sebagai
kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yang merupakan
pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan
disebut sebagai organis untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari
anggota-anggota.
Untuk menjelaskan kesempurnaan
jiwa tersebut, Ibnu Rusyd mengkaji jenis-jenis jiwa yang menurutnya ada lima:
- Jiwa Nabati (al nafs al nabatiyyah)
- Jiwa perasa (al nafs al hassasah)
- Jiwa khayal (al nafs al mutakhayyilah)
- Jiwa berfikir (al nafs al nathiqah)
- Jiwa kecendrungan (al nafs al nuzu'iyyah)
[30]
- Kenabian dan Mu’jizat
Allah menyampaikan wahyu kepada
umat manusia melalui rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa orang itu Rasul Allah,
ia harus membawa tanda yang berasal darinya, dan tanda ini disebut mukjizat.
Pada seorang rasul, mukjizat itu meliputi dua hal yang berhubungan dengan ilmu
dan yang berhubungan dengan amal. Hal yang pertama, rasul itu memberitahukan
jenis-jenis ilmu dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim diketahui oleh
manusia. Suatu hal yang diluar kebiasaan pengetahuan manusia, sehingga ia tidak
dapat mengetahuinya adalah bukti bahwa orang yang membawanya adalah rasul yang
menerima wahyu dari Allah, bukan dari dirinya.
Ringkasnya, Ibnu Rusyd membedakan antara
dua jenis mukjizat : mukjizat al Barrany yaitu mu'jizat yang diberikan
kepada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya seperti tongkat
Nabi Musa dapat menjadi ular, Nabi Isa bisa menghidupkan orang mati, membelah
bulan dan sebagainya. Dan mukjizat al Jawwany yaitu mu'jizat yang
diberikan kepada seorang nabi dan sesuai dengan risalah kenabiannya yang
membawa syariat untuk kebahagiaan umat manusia, seperti mu'jizat Al qur'an bagi
Nabi Muhammad SAW. [31]Mukjizat
yang pertama berfungsi sebagai penguat sebagai kerasulan. Sedangkan yang kedua
sebagai bukti yang kuat tentang kerasulan yang hakiki dan merupakan jalan
keimanan bagi para ulama dan orang awam sesuai dengan kesanggupan akal
masing-masing.
- Politik dan Akhlak
Seperti yang telah disebut oleh
plato, Ibnu Rusyd mengatakan, sebagai makhluk sosial, manusia perlu kepada
pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan kepala pemerintah
dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya dalam dunia
filsafat, dimana ia telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan islam pada
awalnya menurut Ibnu rusyd adalah sangat sesuai dengan teorinya tentang
revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah muawwiyah yang mengalihkan
pemerintahan menjadi otoriter.
Dalam pelaksanaan kekuasaan
hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan sendinya yang esensial.
Hal ini karena adil itu adalah produk ma'rifat, sedangkan kezaliman adalah
produk kejahilan.
Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi kepada hakim dan dokter
karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih dan tidak
berkurang.hal ini karena keutamaan itu sendiri mengandung dalam dirinya
keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban.
Khusus tentang wanita , Ibnu rusyd
sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara. Pada hakikatnya,
anita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan. Dan jikapun ada,
maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang saja. Dan jika
dalam kerja, ia dibawa tingkat pria, tetapi iamelebihinya dalam bidang seni, seperti
music. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan maju, selama tidak
membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang membelenggu
kebebasannya.[32]
- Jawaban Ibnu Rusyd Terhadap Sanggahan Al Ghazali
Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz
min Al-Dlolal,
Filosof terbagi menjadi tiga
golongan yaitu ; golongan Dahriyyin
(materialis), Thobi’iyyin
(Naturalis), dan
Ilahiyyin
( ketuhanan).[33]
Filosof ilahiyyin seperti Socrates, Plato dan Aristoteles telah menafikan atau menyangkal dua golongan filosof
sebelumnya. Selanjutnya filsafat mereka dibawa oleh Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain dan disebarluaskan di dunia Islam.
Selanjutnya filsafat tersebut oleh al Ghazali
ada yang diterima yaitu yang menyengkut metematika, fisika, kimia, dan
lain-lain, sedang yang menyangkut ketuhanan ditolak dengan dianggap sebagai
bid’ah (heteredoksi) bahkan kufur, sebagaimana dia tulis dalam
kitab tahafutul falasifah, ia memandang para filosof sebagai Ahl al Bid’ah,
bahkan kafir.[34]
Kesalahan para filosof dalam bidang ketuhanan ada dua puluh poin, tiga diantaranya menyebabkan
mereka menjadi kafir[35]
yaitu :
masalah kadimnya alam,
masalah Ilmu Tuhan tentang berbagai peristiwa,
dan masalah kebangkitan jasmani
manusia di akhirat.
a.
Kadimnya
alam
Menurut Al-Ghazali Alam diciptakan dari
tiada menjadi ada (al ijad min al
adam, creatio ex nihilo). Pemikiran seperti inilah yang
memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan.
Sementara filosof muslim memandang bahwa alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu
(materi) yang sudah ada.[36]
Sedangkan menurut Ibnu
Rusyd itu hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat
tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari
sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan
tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti
air, tanah, dan seterusnya. Kedua,
lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh
sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim.
Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada
wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak
pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh al-Qadim.
Inilah alam keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu
yang lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu
adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang
lalu tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini
memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim.
Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim
pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats
pula.
Makna-makna diatas
menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada
perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan
ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah,
tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk
lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan
tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena
itu materi asal alam ini mesti kadim.
Jadi, Menurut
Ibnu Rusyd tidak ada adalah tidak ada, ada adalah ada,
masing-masing tidak bisa menggantikan posisi lainnya, mustahil bagi Allah
mencipta sesuatu yang tiada. Jadi Allah mencipta alam bukan dari tiada, tapi
dari ada, Allah merubah bentuk menjadi alam seperti ini, Ibnu Rusyd
menyandarkan pendapatnya ini dengan QS Al-Anbiya’ : 30
أولم
يرى الذين كفروا أن السموات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما
وجعلنامن
الماء كل
شيئ حي،
أفلايؤمنون
Artinya : “Dan apakah orang oyang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi keduanya dahulu adalah suatu yang padu. Kemudian
kami pisahkan antara keduanya. Dan air, kami jadikan segala sesuatu yang hidup,
maka mengapakah mereka tiada juga beriman.
QS.
Hud : 7
وهو
الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام وكان عرشه على الماء ليبلوكم أيكم
أحسن عملا
Artinya : “Dan Dialah yang menciptakan langit dam bumi dalam enam
masa dan ‘ArsyNya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang
lenih baik amalnya.”
QS. Fushshilat : 11
ثم
استوى الى السماء وهي دخان فقال لها وللأرض ائتيا طوعا أو كرها ، قالتا
أتينا طائعين
Artinya : ” Kemudian Dia menuju langit, dan
langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:
datanglah kamu keduanya menurut perintahku dengan suka hati atau terpaksa.
Keduanya menjawab : Kami datang dengan suka hati.”
QS.
Al-Mu’minun : 12
ولقد
خلقنا الإنسان من سلالة من طين
Artinya
: “Dan
sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati dari tanah”
Dari ayat-ayat tadi Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa dalam mencipta
Allah selalu menyebut sesuatu sebagai asal mula penciptaannya. Jadi sebelum
alam ini diciptakan, sudah ada sesuatu yang lain atau terdapat wujud sebelum wujud ini,
yang didalam ayat-ayat tadi terdapat kata ماء
(air) dan دخان ( asap ).
Dengan demikian kata Ibnu Rusyd, paham kadim-nya alam tidak bertentangan dengan
ajaran al-Quran. Dalam hal ini pendapat
filosof muslimlah yang sesuai dengan ayat Al-Qur’an, sedangkan pendapat
Al-Ghazali dan para teolog muslim yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari
tiada, justeru tidak sesuai dengan arti lahir ayat, dan dalam hal ini berarti
mereka (teolog muslim) mengambil arti metaforik, yang seharusnya mengambil arti
lahir ayat dan sebaliknya filsof muslim yang mengambil arti lahir ayat, yang
seharusnya mengambil arti metaforik.
b.
Ilmu
Tuhan tentang berbagai peristiwa
Menurut al Ghazali para
filsof muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam. Padahal
dalam QS Yunus :
61 Allah berfirman :
وما
يعزب عن ربك من مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء ولا أصغر من ذلك ولا أكبر إلا في
كتاب مبين.
Artinya : Dan tidak luput dari
pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit.
Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih besar dari itu melainkan
(semua) tercatat dalam kitab yang nyata.
Dalam menjawab tuduhan
ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa al Ghazali salah paham, sebab tidak ada para filosof muslim yang mengatakan demikian. Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan
mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i yang terdapat dialam semesta ini atau
tidak mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan
mengetahui yang juz’i tersebut. Cara
Tuhan berbeda mengetahu yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya,
pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah
diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta
berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan
kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya. Artinya, Pengetahuan Allah bersifat qadim
yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini,
betapapun kecilnya, sedang pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula
pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk
akibat. Demikian juga menurut Ibn Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat
dikatakan juz’i ( parsial)[37]
dan kullli (umum).[38]
Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada dzatNya tidak terdapat panca
indera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibn Rusyd, tidak
ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kulli.
Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali
dan para filosof muslim tentang ilmu Allah. Al-Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah
dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof muslim terkesan membedakan antara
ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun pada dasarnya mereka berpendapat bahwa
Allah mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun
mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.[39]
c.
Kebangkitan
jasmani manusia di akhirat
Imam Ghozali sebagaimana para teolog
lainnya meyakini bahwa kebangkitran jasmani adalah jasmani dan rohani, sebagimana QS Yasin : 52
وضرب
لنا مثلا ونسي خلقه قال من يحي العظام وهي رميم قل يحييها الذي أنشأها أول
مرة. وهو بكل خلق عليم.
Artinya : ”Dan dia membuat perumpamaan bagi
kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata; siapakah yang dapat,
menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh ? katakanlah ia akan
dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertamam dan dialah yang
mengetahui tentang segala makhluq.”
Menurut Ibn Rusyd; sanggahan Al-ghazali
terhadap filosof muslim, tentang kebangkitan jasmani diakhirat tidak ada,
adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibn
Rusyd mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda
interpretasi mengenai bentuknya. Para filosof berpendapat bahwa yang akan
dibangkitkan hanya rohani, dan para teolog mengatakan akan dibangkitkan rohani
dan jasmani. Namun yang jelas kehidupan diakhirat tidak sama dengan kehidupan
didunia ini. Hal ini sesuai dengan hadits : “Disana akan dijumpai apa yang
tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah
terlintas didalam pikiran” dan ucapan Ibn Abbas RA : “Tidak akan
dijumpai diakhirat hal-hal keduniawian kecuali nama saja”.[40] Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi
dari pada di dunia.
Namun demikian, Ibn Rusyd menyadari
bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk
jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong
mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan
atau amalan yang buruk.
Menurut Ibn Rusyd sikap Al-Ghazali
sendiri tidak konsisten, saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam
buku tahafutul falasifah, Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada seorang
muslimpun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Namun dalam
bukunya mengenai tasawwuf dia mengemukakan pendapat kaum sufi bahwa yang ada
nanti hanya kebangkitan rohani.[41]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al-Ghazali
dan para filosof muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar
tentang kebangkitan diakhirat, bukan perbedaan antara menerima atau menolak
ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-Ghzali
dengan filosof muslim, atau dengan kata lain perbedaan otak antara satu orang
muslim dengan otak orang muslimlain dalam memahami ayat-ayat tentang
kebangkitan diakhirat, hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam. Perbedaan
seperti ini tidak akan membawa kepada kekafiran. Lebih lanjut Ibn Rusyd
menekankan hadits Rasululah: “Siapa
yang benar dalam berijtihad dibidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang
salah dalam ijtihadnya ia menadapat satu pahala.”
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd
tuduhan kafir yang dilontarkan al-Ghazali
terhadap filosof
muslim dalam tiga
butir masalah di atas
tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru namun
kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan
dilontarkan kepada para filosof muslim melanggar ijma’, maka dalam pemikiran
mereka tidak ada ijma’ ulama secara pasti.
d.
Pengetahuan
sebab-musabab[42]
Salah satu proposisi primer yang diketahui
manusia dalam kehidupan sehari-harinya adalah prinsip kausalitas yang
menyatakan bahwa setiap sesuatu yan terjadi memiliki sebab. Ia termasuk
prinsip-prinsip yang niscaya lagi rasional. Karena, manusia mendapati di
kedalaman wataknya adanya suatu pendorong yang berupa penjelasan apa yang
ditemuinya dan alasan keberadaannya dengan mengungkapkan sebab-sebabnya.[43]
Berbicara tentang pengetahuan kausalitas, Ibnu
Rusyd tidak akan lepas dari pembahasan mengenai pendapat Imam Ghazali yang
mewakili teolog. Imam al Ghazali menyatakan bahwa hukum kausalitas dalam segala
sesuatu bukan merupakan hal yang primer. Dia adalah teolog pertama yang
melontarkan penolakan secara sistematis terhadap konsep keniscayaan hubungan
sebab-akibat. Dalam hal ini tampaknya dia dipengaruhi oleh kaum Skeptik Yunani
dari aliran Pyrhonian. Sanggahan al Ghazali terhadap hukum sebab akibat yang
merupakan fondasi ilmu pengetahuan didasarkan kerisauan al Ghazali manakala dia
menatap dengan kacamata agama, yaitu menetapkan adanya mu’jizat yang menyalahi
kebiasaan (khariq al ‘adah).
Dalam hal sebab akibat, Ibnu Rusyd menegaskan
bahwa sebab segala sesuatu baik sebabnya itu majhul maupun ma’lum,
pasti ada sebabnya dan sebabnya itu dharury. Dan sesuai dengan watak Ibnu Rusyd
yang rasionalis, maka jika ada sebab yang tak tampak dan bahkan tidak bisa
diindera, dia mewajibkan adanya penelitian untuk bisa menemukan sebab yang
mengakibatkan terjadinya sesuatu.[44]
Beberapa perbedaan antara al Ghazali dan Ibnu
Rusyd tentang pemahaman terhadap hukum
kausalitas, yaitu al Ghazali melihat sebab tidak bersifat aktif (fi’liyah)
sehingga keberadaannya itu tidak niscaya (ikhtiyari). Sedangkan Ibnu
Rusyd melihat bahwa sebab itu bersifat aktif (fa’ilah) oleh karena itu
keberadaannya adalah niscaya (dharury). Selain itu dalam hal ini, al
Ghazali menekankan unsur kemu’jizatan, sedangkan menurut Ibnu Rusyd,
kemu’jizatan adalah kejadian yang bersifat alami dan spontan. Di mana
kejadiannya bersifat wajar, tetapi kejadiannya berbeda dengan hukum alam.[45]
Kita tidak perlu ragu tentang pengetahuan
sebab akibat yang dilontarkan Ibnu Rusyd. Perasaan kita akan menyadarkan bahwa
benda-benda alam adalah selalu berhubungan dengan pertalian sebab-akibat. Kita
tidak menolak adanya mu’jizat, tetapi perlu disadari bahwa kita hidup di dunia
ini merupakan karunia dari Allah yang perlu kita jaga dengan mengembangkannya
melalui pengejawantahan yang baik.[46]
- Karya-karya Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd merupakan
seorang pengarang yang produktif. Ibn Rusyd menulis
dalam banyak bidang diantaranya ilmu fiqih,
kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Sebenarnya karyanya yang
paling besar berpengaruh di barat, yang dikenal dengan Averroism yaitu
komentarnya terhadap karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat,
tetapi juga dalam bidang ilmu jiwa, logika, fisika, dan akhlak.
Salah satu kelebihan karya tulisnya
ialah gaya penuturan yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga
karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Namun, amat
disayangkan karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada sudah diterjemahkan
orang kedalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi), bukan dalam bahasa aslinya
(Arab). Ini semua akibat tragedi nista yang menimpa dirinya ketika diadili dan
dibuang ke Lucena dimana buku-bukunya yang mengandung filsafat dimusnahkan.
Tragedi kedua yang lebih fatal disaat jatuhnya Andalus ketangan Ferdinant II
dan Isabella. Jendral Ximenes yang fanatik dengan kemenangan Kristen membakar
habis buku-buku yang berbau Arab dan sudah barang tentu buku-buku Ibnu Rusyd
ikut di dalamnya.
Kendatipun demikian, sampai hari ini
karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut : [47]
- Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al- Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat .
- Al-Kasyf ’an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
- Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
4.
Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Berisikan
uraian-uraian dibidang fiqih.
5.
Kitab
al-Kulliyat fi al-Thibb, yang telah diterjemahkan dalam
bahasa latin Coliget [48]
6.
Syarhu Kitabi al
Sama' wa al Ardh li Aristo [49]
7.
Dhamimah li
Masalah al-Qadim,
dll[50]
Sedemikian kuatnya pengaruh Ibnu Rusyd
pada filsuf-filsuf Eropa sampai ada pandangan yang menilai, Eropa berutang budi
begitu besar kepada Ibnu Rusyd karena dialah yang me-nyalakan lilin pencerahan di
kegelapan masyarakat Eropa abad pertengahan. Penulis Florence Dante Ali-ghicri
yang hidup satu abad setelah Ibnu Rusyd, antara 1265-1321M, dalam bukunya Di
vina Commedia memberikan julukan "Pengulas Aristoteles" kepada Ibnu
Rusyd. Gelar ini
memang tepat untuknya, karena pikiran-pikirannya mencerminkan usaha yang keras
untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya, setelah
bercampur dengan unsur-unsur platonik yang cukup memperburuk orisinalitas
pemikirannya dan dimasukkan para filsuf Iskandariyah.[51] Sejak
itu Ibnu Rusyd dikenal di dunia Eropa sebagai Averroes dan dunia Islam mencapai titik
tertinggi dalam memahami filasat Aristoteles, sampai secara
perlahan namun pasti dia dilupakan Eropa.
[1] Suparman Syukur, Epistimologi Islam
Skolastik : Pengaruh pada Pemikiran Islam Modern. (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2007), cet.-1, hlm. 17
[2]
Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafimdo Persada, 2007),
cet. -2,
hlm. 221
[4] Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibn Malik
Ibn Muhammad Ibn Thufail al Andalusy al Qaisy. Lahir pada sekitar tahun 500H
(1106M) di Guadix (Wadi Asy) yang terletak di timur laut Granada,
Spanyol. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Hayy Ibn Yaqdzan (si
Hidup anak si Sadar) banyak menarik perhatian para sastrawan dan Filsuf di
Timur dan di Barat sejak ditulis olehnya pada abad ke-6H (abad ke-12M). (lihat
: Ibnu Thufail, Hayy Ibn Yaqdzan (penerjemah : Dahyal Afkar), (Bekasi :
Menara, 2006), cet.-1, hlm. 5-6). Ibnu Thufail wafat pada w. 581 H/1185 M
[5]
M.M. Syarif. Para
Filosof Muslim, ( Bandung : Mizan, 1989), cet.-2, hlm. 200
[6] Al 'Iraqi mengatakan bahwa Ibnu Rusyd menulis tiga macam ulasan, yaitu
1) ulasan yang besar (tafsir atau al syarh al akbar)
mengikuti pola tafsir al Qur'an. Dia mengutip satu paragraf dari tulisan
Aristoteles dan memberikan penafsiran serta ulasan atasnya. Kini kita masih
memiliki ulasan besarnya dalam bahasa Arab "Metaphysica", yang
disunting oleh Bouyges (1357/1938M-1371/1951H) 2) ulasan menengah (al syarh
al awsath) ,dan 3) ulasan kecil (talkhis, yang dalam bahasa Arab berarti
rangkuman). (lihat : 'Athif al 'Iraqi, al
Naz'ah al 'Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd, (Kairo : Dar al Ma'arif, 1984),
cet.-4, hlm. 64). Tafsir ini diterjemahkan ke dalam bahasa Hibrani oleh Samuel
Ibn Tibbon pada paruh pertama abad ke-13, oleh Jacob Anatoli pada 1232M, oleh
Michael Scott dan Herman, orang Jerman ke dalam bahasa latin. (lihat : Jamil
Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (terj. Hundred Great Muslim), (
Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), cet.-1, hlm. 159). Ulasan-ulasan
ini walau lebih banyak mengemukakan filsafat Aristoteles, tapi juga
mengemukakan filsafat Rusyd. Suatu ringkasan yang berjudul Majmu'ah atau
Jawami' yang terdiri atas enam buku (Physics, De Caelo et Mundo,
De Generatione et Corruptione, Meteorologica, De Anima, dan Metaphysica),
kini telah diterbitkan dalam bahasa Arab (Lihat : M.M. Syarif. Op. cit.,
hlm. 201, lihat juga : Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (
Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet.-1, hlm. 227)
[7] Abu al Walid ibn Rusyd, Fashl al Maqal fi
ma Baina al Hikmah wa al Syari'ah min al Ittishal, (Kairo : Dar al Ma'arif,
1119), cet.-3, hlm.6
[8] Ahmad
Fuad Al-Ahwani, Al Falsafah al
Islamiyah,
(Kairo : Maktabat al Tsaqafiyat,1962),
hlm. 100-101
[9] Abbas mahmud al Aqqad, Ibnu
Rusyd "al Majmu'ah al Kamilah : al Falsafah al Islamiyah " , jilid-9, (Beirut : Dar al Kitab al Lubnany,
1978), cet.-1, hlm. 377-378
[10]
Sirajuddin Zar, Op. Cit, hlm. 222
[11] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Op. Cit., hlm. 103
[12] Ahmad Daudy, dkk. Filsafat Islam,
(Banda Aceh : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Jami'ah Ar Raniry,
1985), hlm. 224
[13]
Abu al Walid ibn Rusyd, Op. Cit.,
hlm.22-23
[14]
Ahmad Daudy, dkk. Op. Cit., hlm.
227-228
[15] M. M. Syarif. Op. Cit., hlm. 205
[16] Takwil ialah mengangkat makna suatu lafal
dari maknanya yang hakiki (riil) ke makna yang majazi
(metaforik), tanpa mengabaikan kebiasaan bahasa Arab dalam membuat metafor.
(lihat : Abu al Walid ibn Rusyd, Op. Cit., hlm.9)
[17] Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga
golongan, sebagaimana dalam al Qur'an : para filsuf (kaum yang menngunakan cara
demonstratif), para teolog (orang-orang Asy'ariyah- yang ajaran-ajaran mereka
menjadi ajaran-ajaran-ajaran resmi pada masa Ibnu Rusyd-ialah kaum yang lebih
rendah tingkatannya karena mereka memulai dari penalaran dialektis bukan dari
kebenaran ilmiah. Dan orang awam (orang-orang retoris yang hanya bisa mencerap
sesuatu lewat contoh-contoh dan pemikiran puitis), (lihat : M. M. Syarif. Loc. Cit)
[18] Sebagaimana kita ketahui, kaum Masehi
(kristen) berpendirian adanya tiga oknum, yang tiap-tiap oknum berdiri sendiri.
Bapak adalah Wujud, Anak adalah Logos, dan Roh Kudus adalah Hidup (lihat :
Kamil Muhammad Muhammad 'Uwaidah, Op. Cit., hlm. 25)
[19] Dedi supriyadi, Op. Cit., hlm. 231
[20]
M. M. Syarif. Op. Cit., hlm. 207
[21] Dalam kitab al Kasyf 'an Manahij al Adillah, Ibnu Rusyd menunjukkan
kepada empat golongan yang salin berbeda dalam berdalil tentang adanya Tuhan,
antara lain : golongan Asy'ariyah, Hasywiyah, Mu'tazilah, dan Sufiyyah atau
Bathiniyah. Semua dalil-dalil yang dikemukakan oleh golongan-golongan tersebut
tidak sesuai dengan petunjuk al Qur'an. (lihat : Ahmad
Daudy, dkk. Op. cit., hlm. 233-234)
[22]
Abu al Walid Muhammad Ibn Rusyd, Tahafut
al-Tahafut, (Beirut : Dar al Ma'arif, 1964), cet.-1, hlm: 711
[23] Ibid., hlm: 702-703
[24]
Ahmad Daudy, dkk. Op. Cit., hlm.
234-235, lihat juga : 'Athif al 'Iraqi, Op. Cit,
hlm. 270
[25] Ibnu Rusyd, al Kasyf 'an
Manahij al Adillah fi 'Aqa'id al Millah, (Beirut : Markaz Dirasat al Wihdah
al 'arabiyah, 1998), cet.-1, hlm. 80
[26] Kamil Muhammad Muhammad 'Uwaidah, Op. Cit.,
hlm. 95
[27] Mengenai masalah tanzih
(pensucian) Allah, Ibnu Rusyd mengawalinya dengan menyebutkan ayat-ayat yang
menampilkan dalil-dalil naqli, seperti : QS. Al Syura : 11 yang artinya :
" Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat" . Ibid, hlm. 99
[28] Ibid, hlm. 100
[29] Ahmad Daudy, dkk. Op. Cit., hlm.
245-246
[30] Ibid, hlm. 248-250
[31] Sirajuddin Dzar, Op. Cit.
hlm. 237
[32] Ahmad Daudy, dkk. Op. Cit, hlm.
254-256
[33] Sirajuddin Zar, Op. Cit, hlm. 160
[34]
Ibnu Rusyd sebagai seorang filsof muslim merasa wajib menjawab sanggahan
tersebut, yang tidak kalah mautnya dari sanggahan al Ghazali. Menurut Ibnu
Rusyd, bukan pemikiran para filsof muslim yang rancu, melainkan pemikiran al
Ghazali sendiri. Justeru itu, kata Ibnu Rusyd, judul buku al Ghazali tersebut
yang paling tepat adalah Tahafut Abi Hamid, kacaunya pemikiran Abu Hamid
(Al Ghazali), bukan Tahafut al Falasifah , kacaunya pemikiran para
filsof (Muhammad ‘Athif al ‘Iraqi, OP. Cit, hlm. 78)
[35] Sirajuddin Zar, Loc.
Cit, hlm.
161. Lihat juga Al-Ghazali, Tahafutul falasifah, tahqiq Sulaiman Dunya, (
Cairo : Darul Ma’arif, 1962), hlm. 86-87
[36]
Sirajuddin Zar, Loc.
Cit, hlm. 226
[37] Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang
berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indera.
[38] Kulli mencakup berbagai jenis (nau’). Kulli
bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal
[39] Jadi, yang ditolak Ibnu
Rusyd dan para filsof lainnya adalah pengetahuan Allah yang disejajarkan dengan
pengetahuan manusia yang merupakan efek (hasil) dari pengetahuannya yang lain
dan bukan sebagai sebab (‘illah). Oleh karena itu, Muhammad Yusuf Musa
menyimpulkan bahwa tidak ada alasan lagi untuk menolak bahwa Allah SWT
mengetahui segala hal partikular selama pengetahuan itu dipandang sebagai sebab
(‘illah), maka tidak ada lagi persoalan bagi siapa saja yang telah
memahami perbedaan antara ilmu Allah dan ilmu manusia dalam mengantisipasi dua
ayat berikut : QS. Al Mulk : 14 yang artinya :” Apakah Allah yang
menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia
Maha Halus lagi Maha Mengetahui” dan QS. Saba’ : 3 yang artinya : Dan tidak ada yang tersembunyi dari padaNya sebesar Dzarrah (atom) pun yang ada di langit dan yang ada di bumi. Tidak ada pula yang lebih kecil dari itu dan tidak ada yang lebih besar melainkan
(semua) tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).(lihat : Suparman Syukur,
Op. Cit, hlm. 121-122)
[40] Ibnu Rusyd, Tahafut
al-Tahafut, Op. Cit, hlm :
866
[41] Ibid, hlm. 873-874
[42] Merupakan polemik ke -17 dalam Tahafut al Tahafut yang isinya
tentang pembuktian antara sebab efisien (efficient causes) dan
akibatnya. (Suparman Syukur, Op. Cit, hlm. 110)
[43]
Ibid, hlm. 130-131
[44] Ibid,
hlm. 139
[45]
Ibid, hlm. 141
[46] Ibid, hlm. 148
[47] Berbagai manuskrip yang ditulis filsuf Islam, Ibnu
Rusyd. masih dapat ditemukan di Fez, Maroko. Berisi berbagai komentarnya atas karya sejumlah filsuf
dan pemikir yang hidup sebelum dirinya, seperti filsuf Yunani Plato (429-347 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM), sampai Al Farabi (874-950) dan ilmuwan Muslim peletak
dasar-dasar ilmu kedokteran modem Ibnu Sina (980-1037).
[48] Buku ini ditulis sebelum 1162M, terdiri dari 7 jilid yang
membicarakan tentang anatomi, fisiologi, patologi umum, diagnosis, materia
medika, higiena, ilmu pemeriksaan, dan pengobatan umum. (lihat : Jamil Ahmad, Op. Cit., hlm. 161)
[49] komentar terhadap buku
Aristoteles tentang langit dan bumi. Ibnu Rusyd berusaha menampilkan
pendapatnya tentang alam semesta dan menafsirkan filsafat Aristoteles tentang
langit dan bumi. (lihat : Suparman Syukur, Op. Cit., hlm. 40)
[50] Kamil Muhammad Muhammad
'Uwaidah, Op.Cit., hlm. 130-132
[51]
Suparman Syukur, Loc. Cit, hlm. 17
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)