Rabu, 07 Januari 2015

Ibn Rusyd, Filosof Muslim Aristotelian



  1. Pendahuluan
Pengaruh dominan filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi Alkindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristoteles dipandang sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”.
Ibnu Rusyd memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam buku Divine Comedy, Dante (1265-1321M) memberi sebuah gelar pada  Ibnu Rusyd sebagai comentator ( pengulas karya-karya Aristoteles). Gelar ini memang tepat untuknya, karena pikiran-pikirannya mencerminkan usaha yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya, setelah bercampur dengan unsur-unsur platonik yang cukup memperburuk orisinalitas pemikirannya dan dimasukkan para filsuf Iskandariyah. Pada diri Ibnu Rusyd, dunia Islam mencapai titik tertinggi dalam memahami filasat Aristoteles.[1]
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu penulis akan megangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rusyd, filosof muslim aristotelian.

  1. Pembahasan
  1. Biografi Ibnu Rusyd

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibnu Ahmad bin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd atau Abu Al-Walid atau Averroes lahir di Cordova, 520 H / 1126M. Ia berasal dari keluarga ilmuan, ayahnya dan kakeknya adalah para pencinta ilmu dan merupakan ulama yang sangat disegani di Spanyol. Ayahnya adalah Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) adalah seorang fqih (ahli hukum islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad Ibn Ahmad (wafat 520 H-1126 M) adalah ahli fiqh madzhab Maliki dan imam mesjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol, ia sendiri pada tahun 565H/ 1169M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173M, ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al Qudhat di Cordova.[2]
Pendidikan awalnya dimulai dari belajar Al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Selanjutnya ia belajar dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu Kalam, bahasa Arab dan Sastra. Dalam ilmu fiqih ia belajar dan menguasai kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu Muhammad Ibn Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum islam (fiqh ikhtilaf) dan kepada Ibn Basykual dibidang hadits. Dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli (berasal dari Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zhuhr.
Pada tahun 548 H/1153 M, Ibnu Rusyd pindah ke Maroko memenuhi permintaan Khalifah Abdul Mu'min, khalifah pertama dari dinasti Muwahhidin. Khalifah ini banyak membangun sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan, dan meminta Ibnu Rusyd untuk membantunya dalam mengelola lembaga tersebut. Setelah ia meniggal, anaknya, Abu Ya'qub Yusuf Ibn Abdul Mu'min ibn Ali al Qaisi al Kumi (1163-1184 M) menggantinya sebagai khalifah pada tahun 1663M, dan memakai gelar Amirul Mu'minin. Khalifah ini mempunyai pengetahuan yang luas, mencintai ilmu dan ulama'. Ia memadukan dua hal, yakni mendalami agama, mempunyai sifat wara' dan taqwa pada satu sisi, dan pada segi lainnya keinginannya yang kuat untuk mempelajari filsafat. Ia menghimpun buku-buku dari berbagai wilayah di Andalusia dan Maghrib, mengundang ulama' dan khususnya pakar dalam ilmu nalar. Sehingga banyak pakar yang datang kepadanya dalam jumlah yang tidak pernah terjadi pada penguasa-penguasa sebelumnya.[3]
Hal itu dilakukan oleh Abu Ya'qub dengan cara mendekati para cendekiawan, dan yang paling besar pengaruhnya adalah Ibnu Thufail (w. 581 H/1185 M).[4] Sampai-sampai ia diperintahkan untuk tinggal di dalam istana. Dan  di antara cendekiawan yang diperkenalkan Ibnu Thufail kepada khalifah adalah Ibnu Rusyd.
Pertemuan pertama antara Ibn Rusyd dengan Khalifah terjadi proses tanya jawab diantara keduanya tentang asal-usul dan latar belakang Ibnu Rusyd, Abu Ya'qub pun menuji-mujinya, menyebut keluarga serta leluhurnya.[5] Selain itu mereka juga membahas tentang berbagai persoalan filsafat. Ibnu Rusyd menyangka bahwa petanyaan ini merupakan jebakan khalifah, karena persoalan ini sangat krusial dan sensitif ketika itu.
Ternyata dugaan itu meleset. Khalifah yang pencinta ilmu ini malah berdiskusi dengan Ibnu Thufail tentang masalah-masalah di atas. Khalifah Abu Ya’qub dengan fasih dan lancar menjelasan persoalan-persoalan itu dan mengutip pendapat-pendapat seperti Plato dan Aristoteles. Khalifah dan Ibnu Thufail, sama-sama terlibat dalam diskusi yang berat. Terlihat bahwa khalifah yang memang pencinta ilmu pengetahuan ini sangat menguasai persoalan ilmu filsafat pendapat-pendapat mutakallimin atau teolog Plato dan Aristoteles. Ibnu Rusyd kagum pada pengetahuan khalifah tentang filsafat. Karenanya ia pun berani menyatakan pendapatnya sendiri.
Pertemuan pertama ini ternyata membawa berkah bagi Ibnu Rusyd. Ia diperintahkan oleh khalifah untuk menterjemahkan karya-karya Aristoteles. Maka mulailah Ibnu Rusyd menuliskan ulasan-ulasan atas buku-buku Aristoteles. Untuk itu ia layak disebut sebagai " juru ulas ".[6] Pertemuan itu pun mengantarkan Ibnu Rusyd untuk menjadi qodhi di Seville setelah dua tahun mengabdi ia pun diangkat menjadi hakim agung di Cordova, selain itu pada tahun 1182M ia kembali ke istana Muwahidun di Marakhes menjadi dokter pribadi khalifah pengganti Ibnu Thufail.[7]
Pada tahun 1184M khalifah Abu Yakub Yusuf meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Abu Yusuf Ibnu Ya’kub Al-Mansur. Pada awal pemerintahannya khalifah ini menghormati Ibnu Rusyd sebagaimana perlakuan ayahnya, namun pada 1195M mulai terjadi kasak-kusuk dikalangan tokoh agama, mereka mulai menyerang filsafat dan para filosof. Inilah awal kehidupan pahit bagi Ibnu Rusyd. Ia harus berhadapan oleh pemuka agama yang memiliki pandangan sempit dan punya kepentingan serta ambisi-ambisi tertentu. Dengan segala cara mereka pun memfitnah Ibnu Rusyd. Akhirnya Ibnu Rusyd diusir dari istana dan dipecat dari semua jabatnnya. Pada tahun 1195M ia diasingkan ke Lausanne, sebuah perkampungan yahudi yang terletak sekitar 50 km di sebela selatan cordova. Buku-bukunya dibakar di depan umum, kecuali yang berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta astronomi yang tidak dibakar. Selain Ibn Rusyd, terdapat juga beberapa tokoh fuqaha’ dan sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu ‘Abd Allah ibn Ibrahim (hakim di afrika), Abu Ja’far al-Dzahabi, Abu Rabi’ al-Khalif dan Nafish Abu al-‘Abbas.
Penindasan dan hukuman terhadap Ibn Rusyd ini bermula karena Khalifah al-Mansyur ringin mengambil hati para tokoh agama yang biasanya memiliki hubungan emosional dengan masyarakat awam. Khalifah melakukan hal ini karena didesak oleh keperluan untuk memobilisasi rakyatnya menghadapi pemberontakan orang-orang Kristen Spanyol. Disamping itu, hal yang cukup menarik, sikap anti kaum muslim Spanyol terhadap filsafat dan para filosof lebih keras daripada kaum muslim Maghribi atau Arab. Ini digunakan oleh pimpinan-pimpinan agama untuk memanas-manasi sikap anti terhadap filsafat dan cemburu kepada filosof.
Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah menunjukkan sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada pemikiran kreatif Ibn Rusyd, sutau sikap yamg sebenarnya ia warisi dari ayahnya. Khalifah al-Mansyur merehabilitasi Ibn Rusyd dan memanggilnya kembali ke istana. Ibn Rusyd kembali mendapat perlakuan hormat.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Menurut Ibnu al Abrar, selama masa hidupnya, hanya ada dua malam yang tidak digunakan untuk belajar yaitu malam meninggalnya ayahnya dan malam perkawinannya.[8] Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al 'Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.[9]
Dunia Barat menyebutnya dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois.[10] Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentar terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.[11]
Tidak lama setelah Khalifah  mencabut hukumannya dan merehabilitasi posisinya, pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1198 M, Ibn Rusyd meninngal dunia di kota Marakesh dalam usia 72 tahun. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya Cordova untuk dikebumikan di perkuburan keluarganya.[12]

  1. Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd
Filsafat Ibn Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles karena ia sering menghabiskan waktunya untuk membuat komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles dalam berbagai bidang. Menurut Ibn Rusyd, Aristoteles adalah manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur dengan kesalahan. Ibn Rusyd berkeyakinan jika filsafat Aristoteles dipahami sebaik-baiknya, pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai oleh manusia. Kekaguman Ibn Rusyd terhadap Aristoteles sangat tinggi ia menilai seolah-olah ilham Tuhan menghendaki agar Aristoteles menjadi teladan otak bagi manusia yang tertinggi dan adanya kesanggupan untuk mencapai akal universal.
Ibn Rusyd sebagai filsuf besar juga memikir, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf terdahulu, ia tidak begitu saja menerima pemikiran-pemikiran mereka, tetapi menerima yang setuju dan menolak yang sebaliknya, tergantung masalahnya.
  1. Harmonisasi Agama dan Filsafat
Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran islam, hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi Al-Ghazali terhadap pemikiran mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang diantaranya dapat digolongkan sebagai pemikiran sesat dan kufur.
Terhadap reaksi dan sanggahan tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran mereka serta membenarkan kesesuain ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab semua keberatan imam Ghazali dengan argumen-argumen yang tidak kalah dari al-Ghazali sebelumya.
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan filsafat tidak ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada ini.  Ia mendasarkan argumennya (Istidlal) dengan dalil al Qur'an, [13] di antaranya :
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
 Artinya : “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar) tentang kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya waktu (kebinasaan) mereka? Lalu berita mana lagi setelah ini yang akan mereka percaya?(Al-Araf: 185)
Juga firman Allah QS. Al-Hasyr : 2
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya: “Hendaklah kamu mengambil I'tibar (ibarat) wahai orang-orang yang berakal”.
Bernalar dan ber’itibar dalam dua ayat ini hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan kias akali (Syllogisme), karena yang dimaksud dengan I’tibar itu tidak lain dari mengambil sesuatu yang belum diketahui dari apa yang telah diketahui (istinbath al majhul min al ma'lum).[14]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa al Qur'an menyuruh umat manusia untuk mempelajari filsafat (wujub al 'aql) [15] dan Qiyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.
Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil [16] yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.
Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.
Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka,[17] yakni orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan (al Rasikhuna fi al 'Ilm). Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin (Ahl al Burhan), tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi kufur.
Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen.[18] Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.
Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambang atau simbol bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu dipahami oleh akal.
Sejauh ini agama sejalan dengan filsafat. Tujuan dan tindakan filsafat sama dengan tujuan san tindakan agama. Yang ada dalah masalah keselarasan keduanya dalam metode dan permasalahan materi. Jika yang tradisional itu (al manqul) ternyata bertentangan dengan yang rasional (al ma'qul) , maka yang tradisional itu ditafsirkan sedemikian rupa selaras dengan yang rasional.[19]
Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa filsafat ialah saudra kembar agama. Keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.[20] 
  1. Metafisika
a. Dalil wujud Allah
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dikemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya[21] karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya.
Menurut Al-Ghozali para filosof muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam, padahal firman Allah dalam QS Yunus : 61
وَمَا يَعزُبُ عن ربِّكَ مِنْ مثقال ذرةٍ في الأرضِ ولا في السَّمَاءِ ولاَ أصغرَ مِنْ ذلِكَ ولاَ أكبرَ إلا في كتابٍ مبينٍ
Artinya : "Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang nyata"
Dalam menjawab tuduhan ini Ibn Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham, sebab tidak ada para filosof muslim yang mengatakan demikian.  Yang dimaksudkan para filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial dialam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak azali.  Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedang pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.[22] Demikian juga menurut Ibn Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i ( parsial) dan kullli ( umum), Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indera. Kulli mencakup berbagai jenis (nau’). Kulli bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kulli.[23]
Karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, yang mana tidak saja sesuai bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar (filsuf). [24]
1. Dalil ‘inayah (pemeliharan)
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusia. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaja diciptakan demikian oleh sang pencipta. [25]
2. Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya, sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.
3. Dalil Gerak.
Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya.
Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
b. Sifat-sifat Allah
Persoalan sifat Tuhan merupakan salah satu persoalan penting yang berkembang melalui para mutakallimin di tengah-tengah masyarakat Islam. Pada mulanya hal itu dimaksudkan untuk menahan unsuur-unsur asing yang muncul dari ayat-ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang memungkinkan adanya penyerupaan antara hamba dan Tuhan.[26]
Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih[27] (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
Menurut Ibnu Rusyd ada dua hal yang harus dihilangkan dari pengumpamaan antara kita dan Allah : [28]
1)   Bahwa pada Khaliq tidak terdapat sebagian besar sifat-sifat makhluq
2)   Bahwa padaNya terdapat sifat-sifat makhluk pada dimensi yang paling sempurna dan paling utama (absolut) yang tidak tercapai oleh akal.
  1. Fisika
a. Materi dan forma
Seperti dalam halnya metafisika, ibnu rusyd juga di juga di pengaruhi oleh Aristoteles dalam fisika. Dalam teori Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (al maujud) yang mengalami perubahan seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika adalah materi dan forma.
Menurut Ibn Rusyd, bahwa segala sesuatu yang berada di bawah alam falak terdiri atas materi dan forma. Materi adalah sesuatu yang darinya ia ada, sedangkan forma adalah sesuatu yang dengannya ia menjadi ada setelah tidak ada.
b. Sifat-sifat jisim.
Adapun sifat-sifat jisim ada empat macam, yaitu:
- Gerak
- Diam
- Zaman
- Ruang
c. Bangunan alam.
Para filosof klasik mengatakan, bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga gerak melingkar merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi azali. Dengan sebab gerak ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar. Karena jisim-jisim ini bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu planit yang bergerak melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga tidak ada kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri dari jisim-jisim samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari percampuran emoat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah benda-benda padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.[29]
  1. Manusia
Dalam masalah manusia, Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsur : materi dan forma. jasad adalah materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis”. Jiwa disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yang merupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut sebagai organis untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari anggota-anggota.
Untuk menjelaskan kesempurnaan jiwa tersebut, Ibnu Rusyd mengkaji jenis-jenis jiwa yang menurutnya ada lima:
-  Jiwa Nabati (al nafs al nabatiyyah)
- Jiwa perasa (al nafs al hassasah)
- Jiwa khayal (al nafs al mutakhayyilah)
-  Jiwa berfikir (al nafs al nathiqah)
-  Jiwa kecendrungan (al nafs al nuzu'iyyah) [30]
  1. Kenabian dan Mu’jizat
Allah menyampaikan wahyu kepada umat manusia melalui rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa orang itu Rasul Allah, ia harus membawa tanda yang berasal darinya, dan tanda ini disebut mukjizat. Pada seorang rasul, mukjizat itu meliputi dua hal yang berhubungan dengan ilmu dan yang berhubungan dengan amal. Hal yang pertama, rasul itu memberitahukan jenis-jenis ilmu dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim diketahui oleh manusia. Suatu hal yang diluar kebiasaan pengetahuan manusia, sehingga ia tidak dapat mengetahuinya adalah bukti bahwa orang yang membawanya adalah rasul yang menerima wahyu dari Allah, bukan dari dirinya.
Ringkasnya, Ibnu Rusyd membedakan antara dua jenis mukjizat : mukjizat al Barrany yaitu mu'jizat yang diberikan kepada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya seperti tongkat Nabi Musa dapat menjadi ular, Nabi Isa bisa menghidupkan orang mati, membelah bulan dan sebagainya. Dan mukjizat al Jawwany yaitu mu'jizat yang diberikan kepada seorang nabi dan sesuai dengan risalah kenabiannya yang membawa syariat untuk kebahagiaan umat manusia, seperti mu'jizat Al qur'an bagi Nabi Muhammad SAW. [31]Mukjizat yang pertama berfungsi sebagai penguat sebagai kerasulan. Sedangkan yang kedua sebagai bukti yang kuat tentang kerasulan yang hakiki dan merupakan jalan keimanan bagi para ulama dan orang awam sesuai dengan kesanggupan akal masing-masing.
  1. Politik dan Akhlak
Seperti yang telah disebut oleh plato, Ibnu Rusyd mengatakan, sebagai makhluk sosial, manusia perlu kepada pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan kepala pemerintah dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya dalam dunia filsafat, dimana ia telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan islam pada awalnya menurut Ibnu rusyd adalah sangat sesuai dengan teorinya tentang revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah muawwiyah yang mengalihkan pemerintahan menjadi otoriter.
Dalam pelaksanaan kekuasaan hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan sendinya yang esensial. Hal ini karena adil itu adalah produk ma'rifat, sedangkan kezaliman adalah produk kejahilan.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi kepada hakim dan dokter karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih dan tidak berkurang.hal ini karena keutamaan itu sendiri mengandung dalam dirinya keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban.
Khusus tentang wanita , Ibnu rusyd sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara. Pada hakikatnya, anita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan. Dan jikapun ada, maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang saja. Dan jika dalam kerja, ia dibawa tingkat pria, tetapi iamelebihinya dalam bidang seni, seperti music. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan maju, selama tidak membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang membelenggu kebebasannya.[32]

  1. Jawaban Ibnu Rusyd Terhadap Sanggahan Al Ghazali
Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz min Al-Dlolal, Filosof terbagi menjadi tiga golongan yaitu ; golongan Dahriyyin (materialis), Thobiiyyin (Naturalis), dan Ilahiyyin ( ketuhanan).[33] Filosof ilahiyyin seperti Socrates, Plato dan Aristoteles telah menafikan atau menyangkal dua golongan filosof sebelumnya. Selanjutnya filsafat mereka dibawa oleh Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain dan disebarluaskan di dunia Islam. Selanjutnya filsafat tersebut oleh al Ghazali ada yang diterima yaitu yang menyengkut metematika, fisika, kimia, dan lain-lain, sedang yang menyangkut ketuhanan ditolak dengan dianggap sebagai bid’ah (heteredoksi) bahkan kufur, sebagaimana dia tulis dalam  kitab tahafutul falasifah, ia memandang para filosof sebagai Ahl al Bid’ah, bahkan kafir.[34] Kesalahan para filosof dalam bidang ketuhanan ada dua puluh poin, tiga diantaranya menyebabkan mereka menjadi kafir[35] yaitu : masalah kadimnya alam, masalah Ilmu Tuhan tentang berbagai peristiwa, dan masalah kebangkitan jasmani manusia di akhirat.
a.                Kadimnya alam
Menurut Al-Ghazali Alam diciptakan dari tiada menjadi ada (al ijad min al adam, creatio ex nihilo). Pemikiran seperti inilah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Sementara filosof muslim memandang bahwa alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.[36]
Sedangkan menurut Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti air, tanah, dan seterusnya. Kedua, lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh ­al-Qadim. Inilah alam keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats pula.
Makna-makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti kadim.
Jadi, Menurut Ibnu Rusyd tidak ada adalah tidak ada, ada adalah ada, masing-masing tidak bisa menggantikan posisi lainnya, mustahil bagi Allah mencipta sesuatu yang tiada. Jadi Allah mencipta alam bukan dari tiada, tapi dari ada, Allah merubah bentuk menjadi alam seperti ini, Ibnu Rusyd menyandarkan pendapatnya ini dengan QS Al-Anbiya’ :  30
أولم يرى الذين كفروا أن السموات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما وجعلنامن الماء كل
 شيئ حي، أفلايؤمنون
Artinya : “Dan apakah orang oyang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi keduanya dahulu adalah suatu yang padu. Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan air, kami jadikan segala sesuatu yang hidup, maka mengapakah mereka tiada juga beriman.
QS. Hud : 7
وهو الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام وكان عرشه على الماء ليبلوكم أيكم أحسن عملا
Artinya : Dan Dialah yang menciptakan langit dam bumi dalam enam masa dan ‘ArsyNya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lenih baik amalnya.”
QS. Fushshilat : 11
ثم استوى الى السماء وهي دخان فقال لها وللأرض ائتيا طوعا أو كرها ، قالتا أتينا طائعين
Artinya : Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: datanglah kamu keduanya menurut perintahku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab : Kami datang dengan suka hati.
QS. Al-Mu’minun : 12
ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين
Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati dari tanah
Dari ayat-ayat tadi Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa dalam mencipta Allah selalu menyebut sesuatu sebagai asal mula penciptaannya. Jadi sebelum alam ini diciptakan, sudah ada sesuatu yang lain atau terdapat wujud sebelum wujud ini, yang didalam ayat-ayat tadi terdapat kata ماء  (air) dan دخان  ( asap ).
Dengan demikian kata Ibnu Rusyd, paham kadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran. Dalam hal ini pendapat filosof muslimlah yang sesuai dengan ayat Al-Qur’an, sedangkan pendapat Al-Ghazali dan para teolog muslim yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada, justeru tidak sesuai dengan arti lahir ayat, dan dalam hal ini berarti mereka (teolog muslim) mengambil arti metaforik, yang seharusnya mengambil arti lahir ayat dan sebaliknya filsof muslim yang mengambil arti lahir ayat, yang seharusnya mengambil arti metaforik.

b.               Ilmu Tuhan tentang berbagai peristiwa
Menurut al Ghazali para filsof muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam. Padahal dalam QS Yunus : 61 Allah berfirman :
وما يعزب عن ربك من مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء ولا أصغر من ذلك ولا أكبر إلا في كتاب مبين.
Artinya : Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang nyata.
Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa al Ghazali salah paham, sebab tidak ada para filosof muslim yang mengatakan demikian. Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i yang terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’i tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahu yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya. Artinya, Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak azali.  Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedang pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat. Demikian juga menurut Ibn Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i ( parsial)[37] dan kullli (umum).[38] Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kulli.
 Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof muslim tentang ilmu Allah. Al-Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun pada dasarnya mereka berpendapat bahwa Allah mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.[39]

c.                Kebangkitan jasmani manusia di akhirat
Imam Ghozali sebagaimana para teolog lainnya meyakini bahwa kebangkitran jasmani adalah jasmani dan rohani, sebagimana QS Yasin : 52
وضرب لنا مثلا ونسي خلقه قال من يحي العظام وهي رميم قل يحييها الذي أنشأها أول مرة.  وهو بكل خلق عليم.
Artinya :Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata; siapakah yang dapat, menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh ? katakanlah ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertamam dan dialah yang mengetahui tentang segala makhluq.
Menurut Ibn Rusyd; sanggahan Al-ghazali terhadap filosof muslim, tentang kebangkitan jasmani diakhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibn Rusyd mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani, dan para teolog mengatakan akan dibangkitkan rohani dan jasmani. Namun yang jelas kehidupan diakhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Hal ini sesuai dengan hadits : “Disana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas didalam pikiran” dan ucapan Ibn Abbas RA : “Tidak akan dijumpai diakhirat hal-hal keduniawian kecuali nama saja”.[40] Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari pada di dunia.
Namun demikian, Ibn Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.
Menurut Ibn Rusyd sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku tahafutul falasifah, Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Namun dalam bukunya mengenai tasawwuf dia mengemukakan pendapat kaum sufi bahwa yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.[41] Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar tentang kebangkitan diakhirat, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-Ghzali dengan filosof muslim, atau dengan kata lain perbedaan otak antara satu orang muslim dengan otak orang muslimlain dalam memahami ayat-ayat tentang kebangkitan diakhirat, hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa kepada kekafiran. Lebih lanjut Ibn Rusyd menekankan hadits Rasululah: Siapa yang benar dalam berijtihad dibidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya ia menadapat satu pahala.
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd tuduhan kafir yang dilontarkan al-Ghazali terhadap filosof muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim melanggar ijma’, maka dalam pemikiran mereka  tidak ada ijma’ ulama secara pasti.

d.      Pengetahuan sebab-musabab[42]
Salah satu proposisi primer yang diketahui manusia dalam kehidupan sehari-harinya adalah prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu yan terjadi memiliki sebab. Ia termasuk prinsip-prinsip yang niscaya lagi rasional. Karena, manusia mendapati di kedalaman wataknya adanya suatu pendorong yang berupa penjelasan apa yang ditemuinya dan alasan keberadaannya dengan mengungkapkan sebab-sebabnya.[43]
Berbicara tentang pengetahuan kausalitas, Ibnu Rusyd tidak akan lepas dari pembahasan mengenai pendapat Imam Ghazali yang mewakili teolog. Imam al Ghazali menyatakan bahwa hukum kausalitas dalam segala sesuatu bukan merupakan hal yang primer. Dia adalah teolog pertama yang melontarkan penolakan secara sistematis terhadap konsep keniscayaan hubungan sebab-akibat. Dalam hal ini tampaknya dia dipengaruhi oleh kaum Skeptik Yunani dari aliran Pyrhonian. Sanggahan al Ghazali terhadap hukum sebab akibat yang merupakan fondasi ilmu pengetahuan didasarkan kerisauan al Ghazali manakala dia menatap dengan kacamata agama, yaitu menetapkan adanya mu’jizat yang menyalahi kebiasaan (khariq al ‘adah).
Dalam hal sebab akibat, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa sebab segala sesuatu baik sebabnya itu majhul maupun ma’lum, pasti ada sebabnya dan sebabnya itu dharury. Dan sesuai dengan watak Ibnu Rusyd yang rasionalis, maka jika ada sebab yang tak tampak dan bahkan tidak bisa diindera, dia mewajibkan adanya penelitian untuk bisa menemukan sebab yang mengakibatkan terjadinya sesuatu.[44]
Beberapa perbedaan antara al Ghazali dan Ibnu Rusyd tentang pemahaman  terhadap hukum kausalitas, yaitu al Ghazali melihat sebab tidak bersifat aktif (fi’liyah) sehingga keberadaannya itu tidak niscaya (ikhtiyari). Sedangkan Ibnu Rusyd melihat bahwa sebab itu bersifat aktif (fa’ilah) oleh karena itu keberadaannya adalah niscaya (dharury). Selain itu dalam hal ini, al Ghazali menekankan unsur kemu’jizatan, sedangkan menurut Ibnu Rusyd, kemu’jizatan adalah kejadian yang bersifat alami dan spontan. Di mana kejadiannya bersifat wajar, tetapi kejadiannya berbeda dengan hukum alam.[45]
Kita tidak perlu ragu tentang pengetahuan sebab akibat yang dilontarkan Ibnu Rusyd. Perasaan kita akan menyadarkan bahwa benda-benda alam adalah selalu berhubungan dengan pertalian sebab-akibat. Kita tidak menolak adanya mu’jizat, tetapi perlu disadari bahwa kita hidup di dunia ini merupakan karunia dari Allah yang perlu kita jaga dengan mengembangkannya melalui pengejawantahan yang baik.[46]

  1. Karya-karya Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd merupakan seorang pengarang yang produktif. Ibn Rusyd menulis dalam banyak bidang diantaranya ilmu fiqih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Sebenarnya karyanya yang paling besar berpengaruh di barat, yang dikenal dengan Averroism yaitu komentarnya terhadap karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang ilmu jiwa, logika, fisika, dan akhlak.
Salah satu kelebihan karya tulisnya ialah gaya penuturan yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Namun, amat disayangkan karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada sudah diterjemahkan orang kedalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi), bukan dalam bahasa aslinya (Arab). Ini semua akibat tragedi nista yang menimpa dirinya ketika diadili dan dibuang ke Lucena dimana buku-bukunya yang mengandung filsafat dimusnahkan. Tragedi kedua yang lebih fatal disaat jatuhnya Andalus ketangan Ferdinant II dan Isabella. Jendral Ximenes yang fanatik dengan kemenangan Kristen membakar habis buku-buku yang berbau Arab dan sudah barang tentu buku-buku Ibnu Rusyd ikut di dalamnya.
Kendatipun demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut : [47]
  1. Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al- Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat .
  2. Al-Kasyf ’an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
  3. Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
4.      Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Berisikan uraian-uraian dibidang fiqih.
5.      Kitab al-Kulliyat fi al-Thibb, yang telah diterjemahkan dalam bahasa latin Coliget [48]
6.      Syarhu Kitabi al Sama' wa al Ardh li Aristo [49]
7.      Dhamimah li Masalah al-Qadim, dll[50]
Sedemikian kuatnya pengaruh Ibnu Rusyd pada filsuf-filsuf Eropa sampai ada pandangan yang menilai, Eropa berutang budi begitu besar kepada Ibnu Rusyd karena dialah yang me-nyalakan lilin pencerahan di kegelapan masyarakat Eropa abad pertengahan. Penulis Florence Dante Ali-ghicri yang hidup satu abad setelah Ibnu Rusyd, antara 1265-1321M, dalam bukunya Di vina Commedia memberikan julukan "Pengulas Aristoteles" kepada Ibnu Rusyd. Gelar ini memang tepat untuknya, karena pikiran-pikirannya mencerminkan usaha yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya, setelah bercampur dengan unsur-unsur platonik yang cukup memperburuk orisinalitas pemikirannya dan dimasukkan para filsuf Iskandariyah.[51] Sejak itu Ibnu Rusyd dikenal di dunia Eropa sebagai Averroes dan dunia Islam mencapai titik tertinggi dalam memahami filasat Aristoteles, sampai secara perlahan namun pasti dia dilupakan Eropa.


           



[1] Suparman Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruh pada Pemikiran Islam Modern. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), cet.-1, hlm. 17
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafimdo Persada, 2007), cet. -2, hlm. 221                                                                                                                                                                                                                                              
         [3] Kamil Muhammad Muhammad 'Uwaidah, Ibnu Rusyd Filosof Muslim dari Andalusia, ( Jakarta : Riora Cipta, 2001), cet.-1, hlm. 25
[4] Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibn Malik Ibn Muhammad Ibn Thufail al Andalusy al Qaisy. Lahir pada sekitar tahun 500H (1106M) di Guadix (Wadi Asy) yang terletak di timur laut Granada, Spanyol. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Hayy Ibn Yaqdzan (si Hidup anak si Sadar) banyak menarik perhatian para sastrawan dan Filsuf di Timur dan di Barat sejak ditulis olehnya pada abad ke-6H (abad ke-12M). (lihat : Ibnu Thufail, Hayy Ibn Yaqdzan (penerjemah : Dahyal Afkar), (Bekasi : Menara, 2006), cet.-1, hlm. 5-6). Ibnu Thufail wafat pada w. 581 H/1185 M
[5] M.M. Syarif. Para Filosof Muslim, ( Bandung : Mizan, 1989), cet.-2, hlm. 200
         [6] Al 'Iraqi mengatakan bahwa Ibnu Rusyd menulis tiga macam ulasan, yaitu 1) ulasan yang besar (tafsir atau al syarh al akbar) mengikuti pola tafsir al Qur'an. Dia mengutip satu paragraf dari tulisan Aristoteles dan memberikan penafsiran serta ulasan atasnya. Kini kita masih memiliki ulasan besarnya dalam bahasa Arab "Metaphysica", yang disunting oleh Bouyges (1357/1938M-1371/1951H) 2) ulasan menengah (al syarh al awsath) ,dan 3) ulasan kecil (talkhis, yang dalam bahasa Arab berarti rangkuman). (lihat : 'Athif al 'Iraqi, al Naz'ah al 'Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd, (Kairo : Dar al Ma'arif, 1984), cet.-4, hlm. 64). Tafsir ini diterjemahkan ke dalam bahasa Hibrani oleh Samuel Ibn Tibbon pada paruh pertama abad ke-13, oleh Jacob Anatoli pada 1232M, oleh Michael Scott dan Herman, orang Jerman ke dalam bahasa latin. (lihat : Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (terj. Hundred Great Muslim), ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), cet.-1, hlm. 159). Ulasan-ulasan ini walau lebih banyak mengemukakan filsafat Aristoteles, tapi juga mengemukakan filsafat Rusyd. Suatu ringkasan yang berjudul Majmu'ah atau Jawami' yang terdiri atas enam buku (Physics, De Caelo et Mundo, De Generatione et Corruptione, Meteorologica, De Anima, dan Metaphysica), kini telah diterbitkan dalam bahasa Arab (Lihat : M.M. Syarif. Op. cit., hlm. 201, lihat juga : Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, ( Bandung : Pustaka Setia, 2009), cet.-1, hlm. 227)
[7] Abu al Walid ibn Rusyd, Fashl al Maqal fi ma Baina al Hikmah wa al Syari'ah min al Ittishal, (Kairo : Dar al Ma'arif, 1119), cet.-3, hlm.6
[8] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al Falsafah al Islamiyah, (Kairo : Maktabat al Tsaqafiyat,1962),  hlm. 100-101
[9] Abbas mahmud al Aqqad, Ibnu Rusyd "al Majmu'ah al Kamilah : al Falsafah al Islamiyah " ,  jilid-9, (Beirut : Dar al Kitab al Lubnany, 1978), cet.-1, hlm. 377-378
[10] Sirajuddin Zar, Op. Cit,  hlm. 222
[11] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Op. Cit.,  hlm. 103
[12] Ahmad Daudy, dkk. Filsafat Islam, (Banda Aceh : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Jami'ah Ar Raniry, 1985), hlm. 224
[13] Abu al Walid ibn Rusyd, Op. Cit., hlm.22-23
[14] Ahmad Daudy, dkk. Op. Cit., hlm. 227-228
[15] M. M. Syarif. Op. Cit., hlm. 205
[16] Takwil ialah mengangkat makna suatu lafal dari maknanya yang hakiki (riil) ke makna yang majazi (metaforik), tanpa mengabaikan kebiasaan bahasa Arab dalam membuat metafor. (lihat : Abu al Walid ibn Rusyd, Op. Cit., hlm.9)
[17] Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga golongan, sebagaimana dalam al Qur'an : para filsuf (kaum yang menngunakan cara demonstratif), para teolog (orang-orang Asy'ariyah- yang ajaran-ajaran mereka menjadi ajaran-ajaran-ajaran resmi pada masa Ibnu Rusyd-ialah kaum yang lebih rendah tingkatannya karena mereka memulai dari penalaran dialektis bukan dari kebenaran ilmiah. Dan orang awam (orang-orang retoris yang hanya bisa mencerap sesuatu lewat contoh-contoh dan pemikiran puitis),  (lihat : M. M. Syarif. Loc. Cit)
[18] Sebagaimana kita ketahui, kaum Masehi (kristen) berpendirian adanya tiga oknum, yang tiap-tiap oknum berdiri sendiri. Bapak adalah Wujud, Anak adalah Logos, dan Roh Kudus adalah Hidup (lihat : Kamil Muhammad Muhammad 'Uwaidah, Op. Cit., hlm. 25)
[19] Dedi supriyadi, Op. Cit., hlm. 231
[20] M. M. Syarif. Op. Cit., hlm. 207
[21] Dalam kitab al Kasyf  'an Manahij al Adillah, Ibnu Rusyd menunjukkan kepada empat golongan yang salin berbeda dalam berdalil tentang adanya Tuhan, antara lain : golongan Asy'ariyah, Hasywiyah, Mu'tazilah, dan Sufiyyah atau Bathiniyah. Semua dalil-dalil yang dikemukakan oleh golongan-golongan tersebut tidak sesuai dengan petunjuk al Qur'an. (lihat : Ahmad Daudy, dkk. Op. cit., hlm. 233-234)
[22] Abu al Walid Muhammad Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Beirut : Dar al Ma'arif, 1964), cet.-1,  hlm: 711
[23] Ibid., hlm: 702-703
[24] Ahmad Daudy, dkk. Op. Cit., hlm. 234-235, lihat juga : 'Athif al 'Iraqi, Op. Cit, hlm. 270
[25] Ibnu Rusyd, al Kasyf 'an Manahij al Adillah fi 'Aqa'id al Millah, (Beirut : Markaz Dirasat al Wihdah al 'arabiyah, 1998), cet.-1, hlm. 80
[26] Kamil Muhammad Muhammad 'Uwaidah, Op. Cit., hlm. 95
[27] Mengenai masalah tanzih (pensucian) Allah, Ibnu Rusyd mengawalinya dengan menyebutkan ayat-ayat yang menampilkan dalil-dalil naqli, seperti : QS. Al Syura : 11 yang artinya : " Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" .  Ibid, hlm. 99
[28] Ibid, hlm. 100
[29] Ahmad Daudy, dkk. Op. Cit., hlm. 245-246
[30] Ibid, hlm. 248-250
[31] Sirajuddin Dzar, Op. Cit. hlm. 237
[32] Ahmad Daudy, dkk. Op. Cit, hlm. 254-256
[33] Sirajuddin Zar, Op. Cit, hlm. 160
[34] Ibnu Rusyd sebagai seorang filsof muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak kalah mautnya dari sanggahan al Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bukan pemikiran para filsof muslim yang rancu, melainkan pemikiran al Ghazali sendiri. Justeru itu, kata Ibnu Rusyd, judul buku al Ghazali tersebut yang paling tepat adalah Tahafut Abi Hamid, kacaunya pemikiran Abu Hamid (Al Ghazali), bukan Tahafut al Falasifah , kacaunya pemikiran para filsof (Muhammad ‘Athif al ‘Iraqi, OP. Cit, hlm. 78)
[35] Sirajuddin Zar, Loc. Cit, hlm. 161. Lihat juga Al-Ghazali, Tahafutul falasifah, tahqiq Sulaiman Dunya, ( Cairo  : Darul Ma’arif, 1962), hlm. 86-87
[36] Sirajuddin Zar, Loc. Cit, hlm. 226
[37] Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indera.
[38] Kulli mencakup berbagai jenis (nau’). Kulli bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal
[39] Jadi, yang ditolak Ibnu Rusyd dan para filsof lainnya adalah pengetahuan Allah yang disejajarkan dengan pengetahuan manusia yang merupakan efek (hasil) dari pengetahuannya yang lain dan bukan sebagai sebab (‘illah). Oleh karena itu, Muhammad Yusuf Musa menyimpulkan bahwa tidak ada alasan lagi untuk menolak bahwa Allah SWT mengetahui segala hal partikular selama pengetahuan itu dipandang sebagai sebab (‘illah), maka tidak ada lagi persoalan bagi siapa saja yang telah memahami perbedaan antara ilmu Allah dan ilmu manusia dalam mengantisipasi dua ayat berikut : QS. Al Mulk : 14 yang artinya :” Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” dan QS. Saba’ : 3 yang artinya : Dan tidak ada yang tersembunyi dari padaNya sebesar Dzarrah (atom) pun yang ada di langit dan yang ada di bumi. Tidak ada pula yang lebih kecil dari itu dan tidak ada yang lebih besar melainkan (semua) tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).(lihat : Suparman Syukur, Op. Cit, hlm. 121-122)   
[40] Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Op. Cit,  hlm : 866
[41] Ibid, hlm. 873-874
[42] Merupakan polemik ke -17 dalam Tahafut al Tahafut yang isinya tentang pembuktian antara sebab efisien (efficient causes) dan akibatnya. (Suparman Syukur, Op. Cit, hlm. 110)
[43] Ibid, hlm. 130-131
[44] Ibid, hlm. 139
[45] Ibid, hlm. 141
[46] Ibid, hlm. 148
[47] Berbagai  manuskrip yang ditulis filsuf Islam, Ibnu Rusyd. masih dapat ditemukan di Fez, Maroko. Berisi berbagai komentarnya atas karya sejumlah filsuf dan pemikir yang hidup sebelum dirinya, seperti filsuf Yunani Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), sampai Al Farabi (874-950) dan ilmuwan Muslim peletak dasar-dasar ilmu kedokteran modem Ibnu Sina (980-1037).
[48] Buku ini ditulis sebelum 1162M, terdiri dari 7 jilid yang membicarakan tentang anatomi, fisiologi, patologi umum, diagnosis, materia medika, higiena, ilmu pemeriksaan, dan pengobatan umum. (lihat :  Jamil Ahmad, Op. Cit., hlm. 161)
[49] komentar terhadap buku Aristoteles tentang langit dan bumi. Ibnu Rusyd berusaha menampilkan pendapatnya tentang alam semesta dan menafsirkan filsafat Aristoteles tentang langit dan bumi. (lihat : Suparman Syukur, Op. Cit., hlm. 40)
[50] Kamil Muhammad Muhammad 'Uwaidah, Op.Cit., hlm. 130-132
[51] Suparman Syukur, Loc. Cit, hlm. 17

0 komentar:

Posting Komentar

Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)