Rabu, 07 Januari 2015

Masalah Normal, Abnormal, dan Patologi




I.             PENDAHULUAN
Psikologi klinis merupakan bidang terapan dalam ilmu psikologi. Para klinisi secara empirik berusaha untuk menerapkanprinsip-prinsip psikologi terhadap problem-problem penyesuaian dann perilaku abnormal. Orang yang dipandang umum normal ataupun sehat, suatu saat dapat melakukan perbuatan yang tergolong abnormal yang mungkin di luar kesadarannya. Sebaliknya tidak jarang orang yang secara umum jelas-jelas abnormal melakukan perbuatan atau mengucapkan kata-kata yang sungguh-sungguh normal. Karena itu diperlukan sebuah patokan atau ukuran untuk membedakan antara normal dan abnormal.[2]

II.          PEMBAHASAN
A.    Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
Kasus
“Seorang mahasiswa yang benama Mira mengeluh tentang nilainya yang tidak memuaskan, padahal ia sudah belajar ssecara intensif. Teman-temannya yan belajar asal-asalan dan mencontek justru mendapatkan nilai yang lumayan. Mira bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia lebih baik mencontek saja karena menurut Mira menyontek adalah hal yang sudah umum”
Pertanyaan yang sering diajukan seorang psikolog, apakah dia sakit jiwa?normal atu abnormalkah?
Kecenderungan untuk mengelompokkan individu yang normal, sehat jiwa dan yang abnormal, berkelainan dan sakit di pihak lain. Abnormal berarti menyimpang dari suatu standar yang bisa berarti diatas/ dibawah normal. Patologis adalah keadaan sakit atau mengalami kerusakan yang biasanya merupakan suatu tinjauan dari sudut pandang medis.
Ada pendekatan yang berbeda dalam membuat pedoman normalitas yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif
1.        Pendekatan Kuantiatif
Pendekatan ini didasarkan atas sering atau tidaknya sesuatu terjadi yang dipikirkansecara subjektif, mengikuti pemikiran awam. Misalnya tinggi rata-rata wanita Indonesia adalah 1,50 meter atau IQ rata-rata 100
2.        Pendekatan Kualitatif
Pendekatan ini menegakkan pedoman-pedoman normatif yang tidak berdasarkan perhitungan atau pemikiran awam, tetapi atas observasi empirik pada tipe-tipe ideal. Misalnya sebaiknya pria menikah jika sudah mempunyai penghasilan. Patokan kualitatif itu sangat terikat dengan keadaan sosial budaya setempat dan menggunakan kriteria penilaian kualitatif atau tipe ideal yang memperhatikan kiteria sosial budaya setempat.
Berdasarkan kedua pendekatan diatas, kasus Mira tentang perilaku mencontek dalam arti patologis, meskipun diperkirakan oleh Mira banyak terjadi atau dapat dianggapsebagai normal secara kuantitatif tentu saja tidak akan dianjurkan kepada Mira untuk melakukan kegiatan yang menyimpang itu.[3]

B.     Normal dan Abnormal Menurut Beberapa Ahli
Ø  Menurut Stren (1964)
Stren mengusulkan untuk memperhatikan 4 aspek untuk menilai norma atau tidak nya seorang, yaitu:

a.         Daya Integrasi
Daya integrasi ialah fungsi ego dalam mempersatukan, mengkoordinasi kegiatan ego kedalam maupun keluar diri. Makin terkoordinasi dan terintegrasi suatu perilaku atau pemikiran, makin baik.
b.        Ada Tidaknya Sistom Gangguan
 Ada atau tidaknya simtom atau gejala gangguan ditinjau dari segi praktis, merupakan pegangan yang paling jelas dalam mengevaluasi kesehatan jiwa secara kualitatif. Ini dinamakan juga pendekatan medis. Kesulitanya adalah bahwa pada kasus-kasus tertentu, misalnya’gangguan kepribadian’, sering kali simtomnya tidak jelas dan subjek tidak punya keluhan.
c.         Kriteria Psikoanalisis
 Kriteria psikoanalisis memperhatikan dua hal untuk dipakai sebagai patokan dari kesehatan jiwa, yaitu tingkat kesadaran dan jalannya  perkembangan psikoseksual. Makin tinggi tingkat kesadaran seseorang, makin baik atau sehat jiwanya. Sebaliknya jika seseorang terlalu banyak dikuasai oleh alam tak sadar, maka ia kurang sehat jiwanya. Tingkatan dan jalanya perkembangan psikoseksual berhubungan erat dengan perkembangan fisik dan perkembangan libido. Perkembangan yang optimal terjadi bila anak tidak terlalu banyak mengalami frustasi,dan juga tidak terlalu berlebihan dalam mendapatkan kepuasan. Itu akan lebih menjamin kesehatan jiwa anak dimasa dewasanya. Dalam keadaan tertentu, perkembangan psikoseksual seseorang dapat terlambat atau terfiksasi pada suatu tahap, dan tidak tidak berkembang ketahap selanjutnya. Kadang-kadang terjadi juga regresi, yaitu mundur ke tahap perkembangan yang lebih dini yang pernah dilaluinya. Sejak psikoanalis menjadi popular, maka kesenjangan antara keadaan normal dan abnormal menjadi lebih kecil.
Menurut pandangan psikoanalisis, pada saat seseorang bermimpi, melakukan kesalahan-kesalahan dalam bertindak atau berbicara, atau lupa hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya ia mengungkapkan suatu hasrat terpendam atau suatu perasaan tertekan secara tidak sadar. Dengan kata lain, hal-hal tersebut merupakan simtom-simtom dari suatu keadaan psikopatologi sehari-hari. Simtom-simtom psikopatologi yang sama terjadi pada orang sakit, tetapi, pada orang normal simtom-simtom ini terjadi dalam derajat yang jauh lebih ringan. Kekuatan pendekatan psikoanalisis (Freud) adalah cukup mendalami dan memperhatikan hal-hal yang khusus yang mungkin terjadi pada diri seseorang. Kelemahanya bahwa disini, fungsi alam sadar selalu diagnungkan dan kemungkinan-kemungkinan yang memiliki arti positif dalam alam tak sadar tidak terlalu diperhatikan. Kelemahan lain adalah terjadinya penyederhanaan berlebih dalam menerangkan segala sesuatu yang terjadi dimasa dewasa dimasa mengembalikan kemasa lalu (yakni pada perkembangan psikoseksual)
d.        Determinan Sosio-Kultural
Determinn-determinan social dan cultural, lingkungan sering kali memegang peranan besar dalam penilaian suatu gejala besar sebagai normal atau tidak. Dalam buku-buku psikiatri, gejala halusinasi diuraikan sebagai gejala patologis, padahal pada seorang suku Indian di Amerika, gejala itu dianggap normal atau bahkan mungkin dianggap suci. Demikian juga apa yang dinamakan “hysterical reaction” yang menurut buku-buku psikiatri adalah suatu gejala neurotic, jika terjadi pada orang-orang Indian mungkin ldianggap sebagai seorang yang kemasukan roh, sebagai peristiwa yang suci. “kesurupan” yang cukup sering terjadi dikalangan masyarakat desadi Indonesia tidak selalu disamakan dengan “depersonalisasi”-nya kasus-kasus psikotis. Menurut beberapa penelitian, ada hubungan antara jenis-jenis neurosis dengan keadaan social-ekonomi masyarakat. Pada masyarakat dengan tingkatan social-ekonomi yang tinggi lebih banyak terdapat psikoneurosis verbal, sedangkan pada tingkatan social-ekonomi rendah lebih banyak terdapat neurosis fisik. Juga ada hubungan antara zaman, Zeitgeist dengan macam-macam gangguan. Stren (1964) mengatakan bahwa pada abad ke-20 hysteria di Eropajarang terjadi, yang sering terlihat adalah personality disorder. Sementara pada abad ke-19 gangguan hysteria sangat banyak terjadi.

Sesuai dengan criteria Stern tersebut diatas, kasus G adalah suatu contoh dari kurangnya integrasi atau pengendalian atas keadaan-keadaan faal dari subjek tersebut. Selama keadaan ini masih dapat diatasi dan tidak mengganggu, maka masih dianggap normal meskipun tidak ideal. Kasus H adalah suatu contoh tentang peran factor sosiokulturl dalam mempelajari masalah subjek. Apakah ini merupakan tanda patologis atau bukan, perlu pertimbangan lebih lanjut.

Ø Menurut Ulmann Dan Krasner (1980)
Menurut Ulmann dan Krasner tingkah laku manusia tidak dapat dilihat secara dikotomis sebagai normal atau abnormal, tetapi harus dilihat dalam hubungannya dengan suatu prinsip, di mana suatu tingkah laku merupakan hasil dari keadaan masa lalu dan masa kini. Ia mengemukakan kesulitan-kesulitan mendefinisikan abnormalitas secara statistik, yakni untuk menyeleksi variabel-variabel abnormalitas mana yang harus diukur, dan hal-hal yang penting untuk dijadikan suatu kriteria mengenai abnormalitas tingkah laku. Menurut Ulmann & Krasner, selain definisi statistik, medis, dan psikoanalitis serta sosiokultural terhadap abnormalitas, ada pula definisi legal (hukum) tentang abnormalitas. Definisi menghubungkan tingkah laku manusia dengan kompetensi, tanggung jawab atas perbuatan kriminal serta komitmen.  Definisi ini digunakan untuk menentukan apakah seseorang sudah harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa, penjara, institusi khusus atau tidak.
Seseorang yang kompeten adalah orang yang mempunyai kemampuan yang memungkinkan dia untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti menandatangani kontrak, mengadopsi anak, memilih dan sebagainya. Seseorang dengan IQ sangat rendah tidaklah kompeten, demikian juga dengan orang pikun, atau seseorang anak di bawah umur ( sesuai hukum yang berlaku).
Dalam hal criminal responsibility, yaitu hubungan antara penyakit dengan tanggung jawab atas perbuatan kriminal, seseorang yang melakukan tindakan kriminal dalam keadaan sadar dsan memiliki IQ normal, meskipun sakit flu, secara hukum dianggap bertanggung jawab atas perbuatan kriminalnya. Sedangkan seseorang yang pada saat melakukan perbuatan kriminal berada dalam serangan epilepsi dan dalam keadaan kesadaran menurun, tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas kesadaran yang dilakukannya itu.
Kesulitan timbul jika menghadapi orang yang mengalami kelainan atau gangguan jiwa. Pandangan medis dapat membebaskan seseorang atas tanggung jawab kriminalnya jika dianggap sebagai seseorang yang sakit jiwa sehingga tak dapat dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi bila ia dianggap sehat, ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Commitment, mengacu pada penentuan kapan seseorang harus diamankan ke dalam rumah sakit jiwa atau ke tempat perawatan khusus. Umumnya seseorang yang membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain perlu dirawat/dipisahkan dari lingkungan masyarakat.
Selanjutnya Ulmann mengusulkan definisi operasional mengenai tingkah laku abnormal sebagai jenis tingkah laku menyimpang (deviance) yang memerlukan perhatian profesional dari psikiater, psikolog atau tenaga profesional lain dalam bidang kesehatan jiwa.
Dalam definisi ini secara implisit terungkap bahwa jika seseorang individu menunjukkan suatu tingkah laku yang berbeda, tidak mengikuti aturan yang berlaku, tidak pantas mengganggu dan tidak dapat dimengerti dengan kriteria yang biasa, maka tingah laku tersebut dianggap abnormal.

Ø  Menurut Gladstone (1978)
William Gladstone dalam bukunya Test Your Own Mental Health menguraikan pegangan-pegangan praktis untuk menilai kesehatan mental diri sendiri. Ia mengusulkan untuk menilai 7 aspek yang merupakan tingkah laku penyesuaian diri (adaptability) yaitu : ketegangan, suasana hati, pemikiran, kegiatan (aktivitas), organisasi diri, hubungan antar manusia, dan keadaan fisik.
Masing-masing aspek memiliki kriteria tingkah laku yang dijadikan pegangan penilaian ‘normal’-nya penyesuaian. Gladstone membaginya dengan 5 tingkatan, yaitu penyesuaian diri yang normal, penyesuaian ‘darurat’, penyesuaian ‘neorotik’ (neurotic coping style), kepribadian atau karakter neurotik dan gangguan berat yang masing-masing dapat deberi skor 10-50.
Sebagai contoh, dalam aspek ketegangan: ketegangan dikatakan dalam keadaan normal apabila ada penyebab yang jelas dan konkret dan bila orang tersebut dapat melakukan sesuatu untuk mengutranginya. Bila ketegangan ini tak dapat dikurangi dan agak mengganggu pekerjaaan sehari-hari dan ia menunjukkan gejala-gejala yang jelas dari ketegangan ini dalam pernapasan, berkeringat, dan lain-lain maka keadaan ini merupakan penyesuaian darurat. Pada pemnyesuaian neurotik, ketegangan tak jelas lagi kaitannya dengan penyebabnya. Seseorang dengan penyesuaian neoritik diliputi kecemasan setiap hari dan hal ini jelas mengganggu pekerjaan sehari-hari. Dengan cara ini bisa saja profil kesehatan mental seseorang itu normal dalam aspek ketegangan, suasana hati, kegiatan atau aktivitas dan hubungan antar manusia, darurat dalam aspek pemikiran dan keadaan fisik, dan patologis dalam aspek organisasi diri. Tes ini tidak begitu dikenal dan tidak banyak diselidiki di Indonesia, namun tetap dikemukakan di sini sebagai contoh untuk menunjukkan kompleknya masalah penilaian normal/abnormalnya tingkah laku seseorang.

Istilah normal dapat diartikan sebagai keadaan yang sehat, dimana sehat itu menurut World Health organization(WHO) suatu keadaan berupa kesejahteraan fisik, mental dan kehidupan sosial yang lengkap dan tidak semata-mata karena tidak adanya penyakit atau cacat/luka.[4]
Beberapa rumusan diatas menekankan normalitas sebagai keadaan sehat yang umum ditandai dengan keefektifan dalam menyesuaikan diri, yakni menjalankan tuntutan hidup sehari-hari sehingga menimbulkan perasaan puas dan bahagia.

III.       KESIMPULAN
Dari uraian yang saya paparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk penilaian apakah suatu tingkah laku dapat disebut normal, abnormal, atau sakit harus dipertimbangkan apakah akan menggunakan kriteria kuantitatif, atau kualitatif. Ada beberapa aspek yang dapat diperhatikan untik penilaian ini sebagaimana dikemukakan oleh Stern, gladstone, dan Ulamnn & Krasner, yang menyatakan bahwa penilaian normal-abnormal itu tidak dapat menueluruh.

IV.       PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA


Ardi Ardani, Tristiadi, Psikologi Klinis, 2007, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Markam, Suprapti Slamet I.S Sumarno, Pengantar Psikologi Klinis, 2003, UI Press, Jakarta.
Wiramihardja, Dr. Sutardjo A, Pengantar Psikologi Abnormal, 2005, Revika Aditama, Bandung.


[1].  Disampaikan dalam diskusi mahasiswa pada hari Senin tanggal 7 Maret 2011 di ruang I.9
[2] Ardi Ardani, Tristiadi, Psikologi Klinis, 2007, Graha Ilmu, Yogyakarta. Hal: 16
[3] Markam, Suprapti Slamet I.S Sumarno, Pengantar Psikologi Klinis, 2003, UI Press, Jakarta. Hal: 23
[4] Wiramihardja, Dr. Sutardjo A, Pengantar Psikologi Abnormal, 2005, Revika Aditama, Bandung, Hal:9

0 komentar:

Posting Komentar

Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)