I.
PENDAHULUAN
Psikologi klinis merupakan bidang terapan dalam ilmu psikologi. Para
klinisi secara empirik berusaha untuk menerapkanprinsip-prinsip psikologi
terhadap problem-problem penyesuaian dann perilaku abnormal. Orang yang
dipandang umum normal ataupun sehat, suatu saat dapat melakukan perbuatan yang
tergolong abnormal yang mungkin di luar kesadarannya. Sebaliknya tidak jarang
orang yang secara umum jelas-jelas abnormal melakukan perbuatan atau
mengucapkan kata-kata yang sungguh-sungguh normal. Karena itu diperlukan sebuah
patokan atau ukuran untuk membedakan antara normal dan abnormal.[2]
II.
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif
Kasus
“Seorang mahasiswa yang benama Mira mengeluh tentang
nilainya yang tidak memuaskan, padahal ia sudah belajar ssecara intensif.
Teman-temannya yan belajar asal-asalan dan mencontek justru mendapatkan nilai
yang lumayan. Mira bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia lebih baik
mencontek saja karena menurut Mira menyontek adalah hal yang sudah umum”
Pertanyaan yang sering diajukan seorang psikolog, apakah dia sakit
jiwa?normal atu abnormalkah?
Kecenderungan untuk mengelompokkan individu yang normal, sehat jiwa dan
yang abnormal, berkelainan dan sakit di pihak lain. Abnormal berarti menyimpang
dari suatu standar yang bisa berarti diatas/ dibawah normal. Patologis adalah
keadaan sakit atau mengalami kerusakan yang biasanya merupakan suatu tinjauan
dari sudut pandang medis.
Ada pendekatan yang berbeda dalam membuat pedoman normalitas yaitu
pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif
1.
Pendekatan Kuantiatif
Pendekatan ini
didasarkan atas sering atau tidaknya sesuatu terjadi yang dipikirkansecara
subjektif, mengikuti pemikiran awam. Misalnya tinggi rata-rata wanita Indonesia
adalah 1,50 meter atau IQ rata-rata 100
2.
Pendekatan Kualitatif
Pendekatan ini
menegakkan pedoman-pedoman normatif yang tidak berdasarkan perhitungan atau
pemikiran awam, tetapi atas observasi empirik pada tipe-tipe ideal. Misalnya
sebaiknya pria menikah jika sudah mempunyai penghasilan. Patokan kualitatif itu
sangat terikat dengan keadaan sosial budaya setempat dan menggunakan kriteria
penilaian kualitatif atau tipe ideal yang memperhatikan kiteria sosial budaya
setempat.
Berdasarkan kedua
pendekatan diatas, kasus Mira tentang perilaku mencontek dalam arti patologis,
meskipun diperkirakan oleh Mira banyak terjadi atau dapat dianggapsebagai
normal secara kuantitatif tentu saja tidak akan dianjurkan kepada Mira untuk
melakukan kegiatan yang menyimpang itu.[3]
B.
Normal dan Abnormal Menurut
Beberapa Ahli
Ø Menurut
Stren (1964)
Stren mengusulkan untuk memperhatikan 4 aspek untuk
menilai norma atau tidak nya seorang, yaitu:
a.
Daya Integrasi
Daya integrasi ialah fungsi ego dalam mempersatukan,
mengkoordinasi kegiatan ego kedalam maupun keluar diri. Makin terkoordinasi dan
terintegrasi suatu perilaku atau pemikiran, makin baik.
b.
Ada Tidaknya Sistom
Gangguan
Ada atau
tidaknya simtom atau gejala gangguan ditinjau dari segi praktis, merupakan
pegangan yang paling jelas dalam mengevaluasi kesehatan jiwa secara kualitatif.
Ini dinamakan juga pendekatan medis. Kesulitanya adalah bahwa pada kasus-kasus
tertentu, misalnya’gangguan kepribadian’, sering kali simtomnya tidak jelas dan
subjek tidak punya keluhan.
c.
Kriteria
Psikoanalisis
Kriteria
psikoanalisis memperhatikan dua hal untuk dipakai sebagai patokan dari
kesehatan jiwa, yaitu tingkat kesadaran dan jalannya perkembangan psikoseksual. Makin tinggi
tingkat kesadaran seseorang, makin baik atau sehat jiwanya. Sebaliknya jika
seseorang terlalu banyak dikuasai oleh alam tak sadar, maka ia kurang sehat
jiwanya. Tingkatan dan jalanya perkembangan psikoseksual berhubungan erat
dengan perkembangan fisik dan perkembangan libido. Perkembangan yang optimal
terjadi bila anak tidak terlalu banyak mengalami frustasi,dan juga tidak
terlalu berlebihan dalam mendapatkan kepuasan. Itu akan lebih menjamin
kesehatan jiwa anak dimasa dewasanya. Dalam keadaan tertentu, perkembangan
psikoseksual seseorang dapat terlambat atau terfiksasi pada suatu tahap, dan tidak
tidak berkembang ketahap selanjutnya. Kadang-kadang terjadi juga regresi, yaitu
mundur ke tahap perkembangan yang lebih dini yang pernah dilaluinya. Sejak
psikoanalis menjadi popular, maka kesenjangan antara keadaan normal dan
abnormal menjadi lebih kecil.
Menurut pandangan psikoanalisis, pada saat seseorang
bermimpi, melakukan kesalahan-kesalahan dalam bertindak atau berbicara, atau
lupa hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya ia mengungkapkan
suatu hasrat terpendam atau suatu perasaan tertekan secara tidak sadar. Dengan
kata lain, hal-hal tersebut merupakan simtom-simtom dari suatu keadaan
psikopatologi sehari-hari. Simtom-simtom psikopatologi yang sama terjadi pada
orang sakit, tetapi, pada orang normal simtom-simtom ini terjadi dalam derajat
yang jauh lebih ringan. Kekuatan pendekatan psikoanalisis (Freud) adalah cukup
mendalami dan memperhatikan hal-hal yang khusus yang mungkin terjadi pada diri
seseorang. Kelemahanya bahwa disini, fungsi alam sadar selalu diagnungkan dan
kemungkinan-kemungkinan yang memiliki arti positif dalam alam tak sadar tidak
terlalu diperhatikan. Kelemahan lain adalah terjadinya penyederhanaan berlebih
dalam menerangkan segala sesuatu yang terjadi dimasa dewasa dimasa
mengembalikan kemasa lalu (yakni pada perkembangan psikoseksual)
d.
Determinan
Sosio-Kultural
Determinn-determinan social dan cultural, lingkungan
sering kali memegang peranan besar dalam penilaian suatu gejala besar sebagai
normal atau tidak. Dalam buku-buku psikiatri, gejala halusinasi diuraikan
sebagai gejala patologis, padahal pada seorang suku Indian di Amerika, gejala
itu dianggap normal atau bahkan mungkin dianggap suci. Demikian juga apa yang
dinamakan “hysterical reaction” yang menurut buku-buku psikiatri adalah suatu
gejala neurotic, jika terjadi pada orang-orang Indian mungkin ldianggap sebagai
seorang yang kemasukan roh, sebagai peristiwa yang suci. “kesurupan” yang cukup
sering terjadi dikalangan masyarakat desadi Indonesia tidak selalu disamakan
dengan “depersonalisasi”-nya kasus-kasus psikotis. Menurut beberapa penelitian,
ada hubungan antara jenis-jenis neurosis dengan keadaan social-ekonomi
masyarakat. Pada masyarakat dengan tingkatan social-ekonomi yang tinggi lebih
banyak terdapat psikoneurosis verbal, sedangkan pada tingkatan social-ekonomi
rendah lebih banyak terdapat neurosis fisik. Juga ada hubungan antara zaman,
Zeitgeist dengan macam-macam gangguan. Stren (1964) mengatakan bahwa pada abad
ke-20 hysteria di Eropajarang terjadi, yang sering terlihat adalah personality
disorder. Sementara pada abad ke-19 gangguan hysteria sangat banyak terjadi.
Sesuai dengan criteria Stern tersebut diatas, kasus
G adalah suatu contoh dari kurangnya integrasi atau pengendalian atas
keadaan-keadaan faal dari subjek tersebut. Selama keadaan ini masih dapat diatasi
dan tidak mengganggu, maka masih dianggap normal meskipun tidak ideal. Kasus H
adalah suatu contoh tentang peran factor sosiokulturl dalam mempelajari masalah
subjek. Apakah ini merupakan tanda patologis atau bukan, perlu pertimbangan
lebih lanjut.
Ø
Menurut Ulmann Dan
Krasner (1980)
Menurut Ulmann dan Krasner tingkah laku manusia
tidak dapat dilihat secara dikotomis sebagai normal atau abnormal, tetapi harus dilihat dalam
hubungannya dengan suatu prinsip, di mana suatu tingkah laku merupakan hasil dari keadaan masa lalu dan
masa kini. Ia mengemukakan kesulitan-kesulitan mendefinisikan abnormalitas
secara statistik, yakni untuk menyeleksi variabel-variabel abnormalitas mana
yang harus diukur, dan hal-hal yang penting untuk dijadikan suatu kriteria mengenai
abnormalitas tingkah laku. Menurut Ulmann & Krasner, selain definisi
statistik, medis, dan psikoanalitis serta sosiokultural terhadap abnormalitas,
ada pula definisi legal (hukum) tentang abnormalitas. Definisi menghubungkan
tingkah laku manusia dengan kompetensi, tanggung jawab atas perbuatan kriminal
serta komitmen. Definisi ini digunakan
untuk menentukan apakah seseorang sudah harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa,
penjara, institusi khusus atau tidak.
Seseorang
yang kompeten adalah orang yang mempunyai kemampuan yang memungkinkan dia untuk
melakukan kegiatan-kegiatan seperti menandatangani kontrak, mengadopsi anak,
memilih dan sebagainya. Seseorang dengan IQ sangat rendah tidaklah kompeten,
demikian juga dengan orang pikun, atau seseorang anak di bawah umur ( sesuai
hukum yang berlaku).
Dalam hal
criminal responsibility, yaitu hubungan antara penyakit dengan tanggung jawab
atas perbuatan kriminal, seseorang yang melakukan tindakan kriminal dalam
keadaan sadar dsan memiliki IQ normal, meskipun sakit flu, secara hukum
dianggap bertanggung jawab atas perbuatan kriminalnya. Sedangkan seseorang yang
pada saat melakukan perbuatan kriminal berada dalam serangan epilepsi dan dalam
keadaan kesadaran menurun, tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas kesadaran
yang dilakukannya itu.
Kesulitan
timbul jika menghadapi orang yang mengalami kelainan atau gangguan jiwa.
Pandangan medis dapat membebaskan seseorang atas tanggung jawab kriminalnya
jika dianggap sebagai seseorang yang sakit jiwa sehingga tak dapat dianggap
bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi bila ia dianggap sehat, ia harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Commitment,
mengacu pada penentuan kapan seseorang harus diamankan ke dalam rumah sakit
jiwa atau ke tempat perawatan khusus. Umumnya seseorang yang membahayakan diri
sendiri atau membahayakan orang lain perlu dirawat/dipisahkan dari lingkungan
masyarakat.
Selanjutnya
Ulmann mengusulkan definisi operasional mengenai tingkah laku abnormal sebagai
jenis tingkah laku menyimpang (deviance) yang memerlukan perhatian profesional
dari psikiater, psikolog atau tenaga profesional lain dalam bidang kesehatan
jiwa.
Dalam
definisi ini secara implisit terungkap bahwa jika seseorang individu
menunjukkan suatu tingkah laku yang berbeda, tidak mengikuti aturan yang
berlaku, tidak pantas mengganggu dan tidak dapat dimengerti dengan kriteria
yang biasa, maka tingah laku tersebut dianggap abnormal.
Ø
Menurut Gladstone (1978)
William
Gladstone dalam bukunya Test Your Own Mental Health menguraikan pegangan-pegangan
praktis untuk menilai kesehatan mental
diri sendiri. Ia mengusulkan untuk menilai 7 aspek yang merupakan tingkah laku
penyesuaian diri (adaptability) yaitu : ketegangan, suasana hati, pemikiran,
kegiatan (aktivitas), organisasi diri, hubungan antar manusia, dan keadaan
fisik.
Masing-masing
aspek memiliki kriteria tingkah laku yang dijadikan pegangan penilaian
‘normal’-nya penyesuaian. Gladstone membaginya dengan 5 tingkatan, yaitu
penyesuaian diri yang normal, penyesuaian ‘darurat’, penyesuaian ‘neorotik’
(neurotic coping style), kepribadian atau karakter neurotik dan gangguan berat
yang masing-masing dapat deberi skor 10-50.
Sebagai
contoh, dalam aspek ketegangan: ketegangan dikatakan dalam keadaan normal
apabila ada penyebab yang jelas dan konkret dan bila orang tersebut dapat
melakukan sesuatu untuk mengutranginya. Bila ketegangan ini tak dapat dikurangi
dan agak mengganggu pekerjaaan sehari-hari dan ia menunjukkan gejala-gejala
yang jelas dari ketegangan ini dalam pernapasan, berkeringat, dan lain-lain
maka keadaan ini merupakan penyesuaian darurat. Pada pemnyesuaian neurotik,
ketegangan tak jelas lagi kaitannya dengan penyebabnya. Seseorang dengan
penyesuaian neoritik diliputi kecemasan setiap hari dan hal ini jelas
mengganggu pekerjaan sehari-hari. Dengan cara ini bisa saja profil kesehatan
mental seseorang itu normal dalam aspek ketegangan, suasana hati, kegiatan atau
aktivitas dan hubungan antar manusia, darurat dalam aspek pemikiran dan keadaan
fisik, dan patologis dalam aspek organisasi diri. Tes ini tidak begitu dikenal
dan tidak banyak diselidiki di Indonesia, namun tetap dikemukakan di sini
sebagai contoh untuk menunjukkan kompleknya masalah penilaian
normal/abnormalnya tingkah laku seseorang.
Istilah normal dapat diartikan sebagai keadaan yang sehat, dimana sehat
itu menurut World Health organization(WHO) suatu keadaan berupa kesejahteraan
fisik, mental dan kehidupan sosial yang lengkap dan tidak semata-mata karena
tidak adanya penyakit atau cacat/luka.[4]
Beberapa rumusan diatas menekankan normalitas sebagai keadaan sehat yang
umum ditandai dengan keefektifan dalam menyesuaikan diri, yakni menjalankan
tuntutan hidup sehari-hari sehingga menimbulkan perasaan puas dan bahagia.
III. KESIMPULAN
Dari uraian yang saya paparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
untuk penilaian apakah suatu
tingkah laku dapat disebut normal, abnormal, atau sakit harus dipertimbangkan
apakah akan menggunakan kriteria kuantitatif, atau kualitatif. Ada beberapa
aspek yang dapat diperhatikan untik penilaian ini sebagaimana dikemukakan oleh
Stern, gladstone, dan Ulamnn & Krasner, yang menyatakan bahwa penilaian
normal-abnormal itu tidak dapat menueluruh.
IV. PENUTUP
Demikian
makalah ini kami susun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Maka dari itu kritik dan saran
yang konstruktif kami harapkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ardi Ardani, Tristiadi, Psikologi Klinis, 2007, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Markam, Suprapti Slamet I.S Sumarno, Pengantar Psikologi Klinis, 2003, UI
Press, Jakarta.
Wiramihardja, Dr. Sutardjo A, Pengantar Psikologi Abnormal, 2005, Revika
Aditama, Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)