Sungguh sangat sedih bagii saya,
mengetahui kematian Rangga Arman Kusuma (14) seorang remaja usia SMP Global
Islamic School
Rangga meninggal dikarenan bunuh
diri. Perilaku bunuh diri yang Rangga lakukan diduga karena ia kurang kasih
sayang sejak usianya masih 3 tahun karena perceraian kedua orang tuanya dan masing-masing
telah berkeluarga dan Rangga tinggal bersama nenek dan tantenya.
Dari keterangan orang sekitar,
Rangga dikenal sebagai anak yang pendiam, tertutup dan jarang berkomunikasi
dengan orang serumahnya. Kondisi ini juga merupakan cermin remaja jaman sekarang
yang hobi menyendiri dan antisosial, asik dengan dunia maya di kamarnya dan
mengabaikan orang di sekitarnya.
Rangga telah memersiapkan segala keperluan untuk ritual bunuh dirinya beberapa hari sebelumnya bahkan ia
berpuasa agar tidak mengeluarkan kotoran saat lehernya terjerat tali ikat
pinggang. Bahkan katanya ia melakukan simulasi terlebih dahulu.
Remaja memang amat rentan depresi.
Karakter emosinya yang labil dan sedang mencari jadi diri seringkali mendorong
mereka untuk berbuat nekad demi mencari perhatian dan pengakuan. Sayangnya,
seringkali orang dewasa di sekitarnya kurang/tidak memahaminya. Yang ada para
remaja labil ini mendapat stigma buruk sebagai pemberontak.
Pandangan dan respon negatif orang
lain yang tidak sesuai dengan harapan, menjadikan remaja merasa terasing, tak
diterima, tertekan bahkan depresi. Ketika remaja sudah tampak murung, lebih
suka mengisolasi diri, berperilaku di luar kebiasaan, orang tua harus peka dan
waspada sebab kondisi demikian rentan bagi remaja untuk berbuat nekad termasuk
bunuh diri, bahkan dengan pemicu yang sepele.
Remaja yang memiliki hubungan dekat
dengan pelaku bunuh diri memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk
melakukan hal yang sama. Remaja puteri lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri
dibandingkan remaja putera. Hal ini umumnya dikarenakan remaja puteri lebih
sulit untuk move on saat mendapatkan masalah dan tekanan dibandingkan remaja
putera. Namun demikian, bunuh diri yang dilakukan remaja putera kemungkinan
berhasilnya lebih tinggi dibandingkan remaja puteri karena biasanya mereka
melakukannya dengan cara ekstrim seperti menggunakan senjata api, tajam atau
menggantung diri. Sementara remaja puteri lebih memilih cara yang lebih soft
dan tidak langsung mematikan seperti menenggak racun, pil, dan memotong urat
nadinya.
Kestabilan emosi seorang remaja
bukanlah bawaan lahir tetapi hasil dari proses pembentukan dan didikan dari
orang-orang terdekatnya yakni keluarga. Kurangnya sentuhan kasih sayang,
besarnya tekanan psikis dan fisik yang diterima dalam keseharian remaja,
kontrol yang terlalu ketat dari orang tua, tuntutan berprestasi yang terlalu
berlebihan, suatu saat akan sampai pada puncak ledaknya.
Kondisi keluarga yang miskin afeksi
dan dukungan emosional, akan melahirkan remaja dengan self esteem (harga diri)
yang rendah dan self blame (menyalahkan diri) yang tinggi. Sebaliknya keluarga
yang memiliki hubungan hangat dan harmonis dengan afeksi dan dukungan emosional
yang sehat melahirkan remaja yang juga stabil dengan rasa percaya diri dan
harga diri yang tinggi.
Kisah tragis bunuh diri yang
dilakukan Rangga dan remaja-remaja lainnya, menjadi pengingat bagi para orang
tua untuk kembali introspeksi dalam memerlakukan anak-anak mereka. Ketika
melihat atau menemukan gejala tindakan percobaan bunuh diri pada remaja, jangan
abaikan tetapi segeralah waspada dan ambil langkah-langkah antisipasi.
Menurut kisah tragis yang dialami para remaja, yang salah
satunya adalah Rangga, bagaimana tanggapan Anda dengan kisah ini,, bagaimana
dan apa yang harus Anda lakukan agar seorang remaja mampu dan mau berbagi
cerita serta curhat kepada Anda,,,?
0 komentar:
Posting Komentar
Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)