Jumat, 23 Januari 2015

Sebab Masuk Neraka Gara-gara Air Wudhu



Yang tertulis kan disini merupakan cerita yang dikisahkan dari seorang ulama besar yaitu Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitab “al-Minahus Saniyyah” beliau mengisahkan sebagai berikut ini:
Cerita tentang dua orang dengan kondisi yang jauh berbeda yaitu antara seorang laki-laki kaya raya dan perempuan yang tak memiliki apa-apa. Dalam keseharian pun, keduanya tampak begitu jauh berbeda. Sang lelaki hidupnya padat oleh kesibukan duniawi, sementara wanita yang miskin itu justru menghabiskan waktunya untuk selalu beribadah.
Kesungguhan dan kerja keras lelaki tersebut membawanya pada keadaan kemapanan ekonomi yang diidamkan. Namun kekayaan yang diperolehnya tak ia nikmati sendiri. Melainkan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya juga merasakan dampak ketercukupan karena jerih payahnya. Lelaki ini memang sedang berkerja untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.
Nasib lain dialami si perempuan miskin. Para tetangganya tak menemukan harta apapun di rumahnya. Kecuali sebuah bejana dengan persediaan air wudhu di dalamnya. Ya, bagi wanita taat ini, air wudhu menjadi kekayaan yang membanggakan meski hidup masih pas-pasan. Bukankah kesucian menjadikan ibadah kita lebih diterima dan menjadikan hidup kita lebih khidmat? Dan karenanya menjanjikan balasan yang jauh lebih agung dari sekadar kekayaan duniawi yang fana ini?
Suatu ketika ada seorang yang mengambil wudhu dari bejana milik perempuan itu. Melihat hal demikian, si perempuan berbisik dalam hati, “Kalau air itu habis, lalu bagaimana aku akan berwudhu untuk menunaikan sholat sunnah nanti malam?”
Apa yang tampak secara lahir tak selalu menunjukkan keadaan sebenarnya. Diceritakan, setelah meninggal dunia, keadaan keduanya jauh berbeda. Sang lelaki kaya raya itu mendapat kenikmatan surga, sementara si perempuan yang tak memiliki apa-apa yang semasa hidupnya dikenal sebagai seorang yang taat beribadah itu justru masuk neraka. Lalu apa sebab yang mendasari itu?
Inilah yang menyebabkan lelaki hartawan tersebut menerima kemuliaan surga lantaran sikap zuhud nya dari gemerlap duniawi. Walau hidupnya penuh dengan kekayaan yang banyak tak lantas membuatnya larut dalam kemewahan, cinta dunia, serta kebakhilan. Apa yang dimilikinya semata untuk kebutuhan hidup istri, anak dan untuk fakir miskin yaitu untuk menunjang keadaan untuk mencari ridha Allah Ta’ala.
Pandangan hidup semacam ini tak dimiliki si perempuan miskin. Hidupnya yang serba kekurangan justru menjerumuskan hatinya pada cinta kebendaan. Yaitu buktinya, ia tak mampu merelakan orang lain berwudhu dengan airnya, meski dengan alasan untuk beribadah. Ketidak ikhlasan nya adalah petunjuk bahwa ia miskin bukan karena terlepas dari cinta kebendaan melainkan “dipaksa” oleh keadaan.
Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani menjelaskan dalam kitab yang sama bahwa zuhud adalah “meninggalkan kecenderungan hati pada kesenangan duniawi, tapi bukan berarti mengosongkan tangan dari harta sama sekali. Segenap kekayaan dunia direngkuh untuk memenuhi kadar kebutuhan dan memaksimalkan keadaan untuk beribadah kepada-Nya.”
Nasihat ulama sufi ini juga berlaku kebalikannya. Untuk cinta dunia, seseorang tak mesti menjadi kaya raya terlebih dahulu. Karena zuhud memang berurusan dengan hati, bukan secara langsung dengan alam bendawi. Semoga artikel ini bermanfaat sehingga menumbuhkan iman kita untuk mencari ridha Allah Ta’ala.

0 komentar:

Posting Komentar

Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)