Selasa, 27 Januari 2015

PEMIKIRAN ASGHAR ALI ENGINEER TENTANG GENDER



I.                   PENDAHULUAN
Al-Qur`an sebagai sumber prinsip ajaran Islam, telah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah semartabat sebagai manusia di sisi Allah SWT. Banyak ayat al-Qur`an yang membicarakan kesetaraan gender, seperti ayat-ayat tentang asal-usul penicptaan manusia, kedudukan laki-laki dan perempuan baik dala kehidupan keluarga, sosial kemasyarakatan ataupun keagamaan. Namun bila dilihat sepintas, tanpa dicermati lebih dalam ada ayat-ayat al-Qur`an yang seakan- akan mendiskriminasikan perempuan, menempatkan perempuan pada posisi marginal dan subordinat terhadap laki-laki.[1]
Asghar Ali Engineer yang menjadi tokoh feminis muslim, pandangan mereka yang menyegarkan mengenai perempuan dalam pembangunan dapat kita pilah-pilah sesuai dengan kebutuhan kultur budaya kita. Adanya pemahaman bahwa peran gender dapat dipertukarkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati yang hanya melekat pada jenis kelamin tertentu.

II.                PERMASALAHAN
A.    Siapakah Asghar Ali Engineer itu ?
B.     Apa sajakah karya – karya dari Asghar Ali Engineer?
C.     Bagaimana pemikiran Asghar Ali Engineer tentang Gender ?

III.             PEMBAHASAN
A.    Biografi Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia adalah seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Ia dilahirkan di Rajasthan (dekat Udaipur, India) pada 10 Maret 1940. Ia mendapatkan gelar doktor dalam bidang teknik sipil  dari Vikram University (Ujjain, India). Pengetahuan agamanya diperoleh dari ayahnya yang Syi’ah. Ia adalah seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) yang mempunyai perhatian besar terhadap tema-tema pembebasan dalam Alquran. Ia pernah menulis artikel yang berjudul “Toward a Liberation Theology in Islam” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Islam dan pembebasan” (Yogyakarta: LSIK, 1993). Adapun bukunya yang berkaitan dengan masalah perempuan adalah The Rights of Women in Islam yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul  Hak-Hak Perempuan dalam Islam  (1994). Masih banyak karyanya yang lain yang menyuarakan keadilan dan pembebasan (Nuryanto, 2001: 7-13). 
Di awal tulisannya Asghar mengatakan, demi mengekalkan kekuasaan atas perempuan, masyarakat seringkali mengekang norma-norma adil dan egaliter yang ada dalam al-Qur’an (Engineer, 1994: 1). Asghar juga mengatakan bahwa Alquran merupakan kitab suci pertama yang memberikan martabat kepada kaum perempuan sebagai manusia di saat mereka dilecehkan oleh peradaban besar seperti Bizantium dan Sassanid. Menurutnya, kitab suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan dalam masalah perkawinan, perceraian, kekayaan, dan warisan (Nuryanto, 2001: 61). 
Berkaitan dengan perempuan, Asghar menganggap bahwa meskipun Alquran memuliakan perempuan setara dengan laki-laki, namun semangat itu ditundukkan oleh patriarkisme yang telah mendarah daging dalam kehidupan berbagai masyarakat, termasuk kaum Muslim. Meskipun secara normatif dapat diketahui bahwa Alquran memihak kepada kesetaraan status antara kedua jenis kelamin, secara kontekstual al-Qur’an mengakui adanya kelebihan laki-laki di bidang tertentu dibanding perempuan. Namun, dengan mengabaikan konteksnya,  fuqaha` (jamak dari  fāqih) berusaha memberikan status lebih unggul bagi laki-laki (Engineer, 1994: 56). Dalam proses pembentukan syariah, ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah perempuan sering ditafsirkan sesuai dengan prasangka-prasangka yang  diidap oleh banga Arab dan non Arab pra Islam – yakni peradaban Hellenisme dan Sassanid – mengenai perempuan (Engineer, 1994: 80). Dengan demikian, interpretasi terhadap ayat-ayat Alquran sangat tergantung pada sudut pandang dan posisi apriori yang diambil penafsirnya.
Mengenai ayat Alquran “al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’” (QS. al-Nisa’ (4): 34) Asghar mengatakan, kata  qawwam dalam ayat itu berarti pemberi nafkah dan pengatur urusan keluarga, dan Alquran tidak mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwām. Menurutnya, jika Allah memaksudkan ayat tersebut sebagai sebuah pernyataan normatif, maka pastilah hal itu akan mengikat semua perempuan di semua zaman dalam semua keadaan. Namun, Allah tidak menghendaki hal tersebut (Engineer, 1994: 63). Untuk menguatkannya Asghar mengutip pendapat-pendapat dari beberapa pakar seperti Parvez, seorang penafsir Alquran terkemuka dari Pakistan, Maulana Azad, pelopor hak-hak perempuan, dan Maulana Umar Ahmad Usmani yang pada prinsipnya mengatakan bahwa Allah tidak melebihkan laki-laki atas perempuan.
Dari penjelasan di atas, tampaknya Asghar ingin mengatakan bahwa dalam khazanah tafsir, khususnya yang berkaitan dengan masalah perempuan, sebenarnya ada pendapat-pendapat yang bersikap empati atau pro-perempuan. Meskipun harus diakui, pendapat yang demikian kalah populer dibanding dengan pendapat-pendapat lain yang misoginis. Atas dasar empati inilah Asghar mencoba menunjukkan alternatif tafsiran atas beberapa ayat Alquran yang selama ini digunakan untuk mengekalkan subordinasi perempuan, yakni berkaitan dengan perceraian, perkawinan, hak waris, kesaksian, dan hak ekonomis (Engineer, 1994: 220).[2] 

B.     Karya – karya Asghar Ali Engineer

·      Pembebasan perempuan

·      Hak-hak perempuan dalam Islam

·      Islam dan teologi pembebasan

·      Communal riots in post-independence India

·      They too fought for India's freedom: the role of minorities

·      Islam in Contemporary World

·      The Bohras

·      Communalism in India

·      Rethinking issues in Islam

 

C.    Pemikiran Asghar Ali Engineer tentang Gender
   Dalam masalah keluarga dan keadilan jenis kelamin, sejarah tidaklah berpihak pada islam. Alqur’an menetapkan untuk memberdayakan perempuan, tetapi norma sosial,konfensi dan prakti bertekad benar melawanyya. Maskipun begit alqur”an secara konseptual memberdayakan perempuan. Mungkin alqur”an adalah kitab pertama didunia yang mendeklarasikan secara tegas, seiring dengan keadilan, hak-hak istri (dengan memperhatikan suami mereka) adalah sama dengan hak-hak suami(adalah sama dengan hak-hak (suami)yang mereka miliki, meskipun laki-laki harus didahulukan daripada mereka(dalam hal ini).
   Ayat itu juga diterjemahkan dengan, “dan perempuan mempunyai hak yang sama dengan hak yang dimilki laki-laki dengan secara adil” (QS. Albaqoroh:228).Akan terlihat disini bahwa penekanan pada “keadilan”. Ini adalah sebuah deklarasi radikal yang berpihak pada perempuan. [3]
Peranan wanita sebagai ibu rumah tangga, bukan kewajiban, tetapi bentukan budaya. Pathriaki dipahami secara hatfiyah yang berarti”kekuasaan bapak” yaitu keluarga yang dipimpin dan dikuasai laki-laki. Dampak budaya pathriarki pada pembagian peran adalah sebagai berikut :
1.        Suami berperan disektor publik, produktif, maskulin dan kewajiban mencari nafkah utama
2.        Istri berperan sebagai sektor domestik, reproduksi,feminin dan seandainya mencari nafkah, maka sebagai pencari nafkah tambahan.
Konstruksi sosial tentng gender menjadikan perempuan lebih memilih pekerjaan yang sifatnya melayani dan masih berkaitan dengan peran domestiknyadirumah tangga. Dengan demikian, lapangan kerja juga mengalami segregrasi atau pemilahan antara tugas laki-laki dan perempuan. Peran yang umum yang dipilih perempuan pun menjadi guru, perawat,pekerja sosial, guru sederhana, sekretaris dan lain sebagainya. Masyarakat juga lebih memandang laki-laki mampu menjadi insyinyur, dokter, astronot dll.
Pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara dalam hal dan bidang apapun. [4]
Para feminis muslim menuduh adanya kecenderungan misoginis(kebencian terhadap perempuan) dan pathriarki (dominan laki-laki) didalam penafsiran teks-teks  keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir keagamaan yang bias kepentingan laki-laki. Mereka mencontohkan tentang hukum kepemimpinan (apakah dalam keluarga maupun dalam politik). Penguasaan nafkah, dan sebagainya yang dianggap sebagai menjadikan perempuan tidak mandiri secara ekonomis dan tergantung secara psikologis.[5]

IV.             KESIMPULAN
Perempuan mempunyai hak yang sama dengan hak yang dimiliki laki-laki dengan cara yang adil. Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga bukan kewajiban. Tetapi bentuk budaya, pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara dalam hal dan bidang apapun.
V.                PENUTUP
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa menambah khasanah keilmuan dan kemanfaatan bagi kita semua. Dalam makalah ini pastilah masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saran dan kritik kami harapkan demi kesempurnaan dalam pemuatan makalah ini dan selanjutnya.
Mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan baik dalam sistematika penulisan, isi pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semoga kesalahan-kesalahan itu menjadikan pembelajaran bagi kita untuk yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA


Asghar Ali Enginer, pembebasan perempuan, yogyakarta, Lkis, 2003.
Http://hisbut-tahrir.or.id/2009/11/05/wanita-di-persimpangan-jalan-kepala-rumah-tangga-perempuan-atau-ibu-rumah-tangga-/.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Marzuki/20Dr./20M.Ag./27./20Perempuan/20dalam/20pandangan/20Feminis/20Muslim.pdf
http://www.scribd.com/doc/25292868/Gender-Dlm-Pemikiran-Islam
Siti muslkhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan Dalam timbangan Islam, Jakarta:Gema insani,2004.


[1]. http://www.scribd.com/doc/25292868/Gender-Dlm-Pemikiran-Islam
[2]. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Marzuki/20Dr./20M.Ag./27./20Perempuan/20dalam/20pandangan/20Feminis/20Muslim.pdf
[3] .Asghar Ali Enginer, pembebasan perempuan, yogyakarta, Lkis, 2003,Hal.111
[4]  Http://hisbut-tahrir.or.id/2009/11/05/wanita-di-persimpangan-jalan-kepala-rumah-tangga-perempuan-atau-ibu-rumah-tangga-/.
[5] Siti muslkhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan Dalam timbangan Islam,Jakarta:Gema insani,2004,Hal.46-47.

0 komentar:

Posting Komentar

Sudah dibaca,,, nggak asyik donk,,, kalau nggak dikomentari,,, (^_^)